Gila,
bener-bener gila ! Ini jam 1 pagi buta. Dimana manusia-manusia normal yang
berpijak di bumi sedang tertidur pulas, bermimpi, mengigau, mendengkur bahkan
sampai tersentak kaget ulah mimpi. Tapi kami? Whoaaa ! Ini adalah waktu dimana
pertarungan kita dimulai. Bertarung dengan kendaraan di
setiap per sentimeter jalan raya, bertarung dengan asap abu-abu hitam yang
disemburkan truk dan bus tanpa ampun, bertarung melawan angin malam yang
menjadi saksi bisu perjalanan kami.
Perjalanan 2 jam adalah perjalanan
panjang untuk menerjang dingin yang membadai. Melewati rumah penduduk desa. Aku
menyaksikan rumah-rumah sekitar yang tenang, rumah-rumah yang diam,
rumah-rumah yang seolah benar-benar tidur nyenyak dan bermimpi seperti para
penghuninya. Sementara kami sepuluh orang sedang menahan mata dari biadabnya
rasa kantuk, menahan lelahnya fisik dari capek yang memukul-mukul pundak tanpa
henti, menahan ribuan tusukan tajamnya dingin yang membekukan tubuh. Tangan kami
seperti diracuni es, dihujani salju, tertancap di pucuk-pucuk tajam gunung es. Begitu
seterusnya tangan ini tanpa sarung tangan melawan sombongnya dingin, angkuhnya
malam.
Aku sadar, malam saat itu sungguh
bajingan. Bagaimana tidak, seluruh kawananku dibuatnya membeku, menggigil,
mengeluh kedinginan. Sungguh malam yang mencekik tubuh
tanpa kesudahan. Malam tanpa pengampunan. Malam yang menelanjangi kami
pelan-pelan sampai kami benar-benar telanjang. Dengan telanjang, ternyata kita
mengenal rasa dingin tadi, semakin jauh semakin lama semakin cepat kami adalah
bagian dari dingin yang membabi buta. Dingin tak lagi meneropong kami dari
kejauhan, kini ia membidik kami satu per satu, sampai kami tidak jadi mampus di
pangkuannya melainkan bersahabat meskipun benar adanya karena keterpaksaan
belaka.
Hutan-hutan mengepung gerombolan
kami. Dinginpun semakin menjadi-jadi, menjadi gila, menjadi sinting, menjadi
edan, menjadi bento, menjadi sableng, menjadi gendeng, tidak waras !
Gelap gulita menyergap gerombolan
kami. Hanya lentera raksasa berjuta-juta watt yang tetap setia mengiring arah
jalan kami, bulan. Hanya ia satu-satunya penerang yang jadi saksi bisu
perjalanan ini. Kisah kami semua terekam oleh sang cahaya satu malam itu.
Surga !
Surga untuk para pendaki gunung
kawah ijen tepat di depan mata.
Surga sekitar kampung tenda.
Surga itu adalah api.
Api unggun !
Surga para pendaki kawah ijen,
Pal tuding.
Bagi kami pejuang dinginnya
malam, api adalah surga penghangat yang sangat berjasa.
Selamat datang di kaki gunung
ijen.
Selamat berjuang sebagian kawan
kami yang masih rela berjuang.
Selamat datang di pulau mimpi
bersama api unggun hangat yang membakar redup-redup tubuh yang di rangkul
dingin sedari tadi. Kami terpisah sebagian di ujung kaki gunung sementara
sebagian lagi di puncak gunung melawan semburan asap belerang dengan bahagia
sentausa.
Selamat dan sukses bagi pendaki
danau sulfur seluas 54 hektar. Acungkan tinggi-tinggi kemenanganmu diatas sini,
2.168 mdpl. Sampaikan salam kecil dari kami yang menunggumu pulang ke kaki
gunung untuk sahabat kecil disekeliling kalian; rerumputan, anggrek, cemara
gunung, jamuju, dan eidelweis. Untuk para pendaki, mendaki atau tidak kita tetaplah pemenang. Penakluk dingin di sepertiga malam yang liar.
Ijen Crater, Oktober 2015
Dipersembahkan kepada :
Familia WWNS & Crew