Selasa, 10 November 2015

SEPENGGAL JEJAK LANGKAH



       Gila, bener-bener gila ! Ini jam 1 pagi buta. Dimana manusia-manusia normal yang berpijak di bumi sedang tertidur pulas, bermimpi, mengigau, mendengkur bahkan sampai tersentak kaget ulah mimpi. Tapi kami? Whoaaa ! Ini adalah waktu dimana pertarungan kita dimulai. Bertarung dengan kendaraan di setiap per sentimeter jalan raya, bertarung dengan asap abu-abu hitam yang disemburkan truk dan bus tanpa ampun, bertarung melawan angin malam yang menjadi saksi bisu perjalanan kami.
       Perjalanan 2 jam adalah perjalanan panjang untuk menerjang dingin yang membadai. Melewati rumah penduduk desa. Aku menyaksikan rumah-rumah sekitar yang tenang, rumah-rumah yang diam, rumah-rumah yang seolah benar-benar tidur nyenyak dan bermimpi seperti para penghuninya. Sementara kami sepuluh orang sedang menahan mata dari biadabnya rasa kantuk, menahan lelahnya fisik dari capek yang memukul-mukul pundak tanpa henti, menahan ribuan tusukan tajamnya dingin yang membekukan tubuh. Tangan kami seperti diracuni es, dihujani salju, tertancap di pucuk-pucuk tajam gunung es. Begitu seterusnya tangan ini tanpa sarung tangan melawan sombongnya dingin, angkuhnya malam.
      Aku sadar, malam saat itu sungguh bajingan. Bagaimana tidak, seluruh kawananku dibuatnya membeku, menggigil, mengeluh kedinginan. Sungguh malam yang mencekik tubuh tanpa kesudahan. Malam tanpa pengampunan. Malam yang menelanjangi kami pelan-pelan sampai kami benar-benar telanjang. Dengan telanjang, ternyata kita mengenal rasa dingin tadi, semakin jauh semakin lama semakin cepat kami adalah bagian dari dingin yang membabi buta. Dingin tak lagi meneropong kami dari kejauhan, kini ia membidik kami satu per satu, sampai kami tidak jadi mampus di pangkuannya melainkan bersahabat meskipun benar adanya karena keterpaksaan belaka.
    Hutan-hutan mengepung gerombolan kami. Dinginpun semakin menjadi-jadi, menjadi gila, menjadi sinting, menjadi edan, menjadi bento, menjadi sableng, menjadi gendeng, tidak waras !
Gelap gulita menyergap gerombolan kami. Hanya lentera raksasa berjuta-juta watt yang tetap setia mengiring arah jalan kami, bulan. Hanya ia satu-satunya penerang yang jadi saksi bisu perjalanan ini. Kisah kami semua terekam oleh sang cahaya satu malam itu.
Surga !
Surga untuk para pendaki gunung kawah ijen tepat di depan mata.
Surga sekitar kampung tenda.
Surga itu adalah api.
Api unggun !
Surga para pendaki kawah ijen, Pal tuding.
Bagi kami pejuang dinginnya malam, api adalah surga penghangat yang sangat berjasa.
Selamat datang di kaki gunung ijen.
Selamat berjuang sebagian kawan kami yang masih rela berjuang.
Selamat datang di pulau mimpi bersama api unggun hangat yang membakar redup-redup tubuh yang di rangkul dingin sedari tadi. Kami terpisah sebagian di ujung kaki gunung sementara sebagian lagi di puncak gunung melawan semburan asap belerang dengan bahagia sentausa.
Selamat dan sukses bagi pendaki danau sulfur seluas 54 hektar. Acungkan tinggi-tinggi kemenanganmu diatas sini, 2.168 mdpl. Sampaikan salam kecil dari kami yang menunggumu pulang ke kaki gunung untuk sahabat kecil disekeliling kalian; rerumputan, anggrek, cemara gunung, jamuju, dan eidelweis. Untuk para pendaki, mendaki atau tidak kita tetaplah pemenang. Penakluk dingin di sepertiga malam yang liar.

Ijen Crater,  Oktober 2015

Dipersembahkan kepada :
Familia WWNS & Crew