telah tertuang rindu ini dalam cangkir-cangkir kecil
ingin rasanya ku pecahkan...
biar tumpah dan merebah...
lalu tak lagi menggenapi apa yang ada dijiwa...
Kamis, 28 Agustus 2014
SURAT KEPADA PAGI
aku bukan senja
bukan senja yang kau tunggu
aku hanya pagi yang lewat
dalam datangnya cahaya dan hilangnya cahaya
kaulah malam
dalam kerumunan bintang dan aksara
aku telah buta
meski kita tak pernah bersua
karena kita tak diwaktu yang sama
pagiku,
hitamkan aku
sekalipun harus layu dan beku
aku ingin mendampingi malam
yang membuat ku tuli
dan ku lupa diri
Senin, 18 Agustus 2014
Sekilas Pandang Curahan Hati
"kepercayaan itu seperti selembar kertas, yang sekalinya kusut susah untuk kembali seperti semula"
kalimat itu lagi mengambang di otak gue ini, ngerasa terwakilkan banget sama kalimat diatas.
iya mungkin kepercayaan gue ini udah abis masa periodnya kali ya sampe tiap ngelakuin hal baikpun ngga bakalan dipercaya. dan bakalan sia-sia lagi kalau ngeyakinin orang yang udah ngga percaya sama kita untuk percaya. percuma deh percuma. jangan ngandelin janji juga, janji lo bakal mubajir. yang mereka mau cuma bukti men, bukti. catet.
"mempertahankan itu lebih sulit daripada mendapatkan"
bayangin aja lo ya mempertahankan relationship yang udah kadaluarsa rasa kepercayaannya, udah non aktif masa kebahagiaannya. sampe pasangan lo bilang "gue ga mau lagi ngerasain cinta kayak begini, gue cuma mau berbagi cinta sama keluarga gue", sakit ngga lo?
lo ngga harus mempertahankan apa yang lo punya kog kalau apa yang lo pertahankan ngga bahagia sama lo. ngga perlu, lo egois dong namanya kalau harus mempertahankan orang yang ternyata cuma ngerasa sakit sama lo tapi orang itu nahan siksa. lepasin aja, biarkan dia pergi dan mencari kebahagiaannya sendiri.
"kebahagiaan itu kita yang ciptakan, bukan mereka"
sah-sah aja kalau lo ngerasa demikian. tapi kalau kebahagiaan itu bukan lagi kita yang ciptakan, maksudnya salah satu tidak merasa bahagia, lo masih mau berjuang mati-matian bilang kebahagiaan itu kita yang ciptakan? ngga kan? kebahagiaan itu diri sendirilah yang menciptakan. apapun yang menjadi kebahagiaan kita sendiri belon tentu guys jadi kebahagiaan oranglain. percaya deh.
#
kalimat itu lagi mengambang di otak gue ini, ngerasa terwakilkan banget sama kalimat diatas.
iya mungkin kepercayaan gue ini udah abis masa periodnya kali ya sampe tiap ngelakuin hal baikpun ngga bakalan dipercaya. dan bakalan sia-sia lagi kalau ngeyakinin orang yang udah ngga percaya sama kita untuk percaya. percuma deh percuma. jangan ngandelin janji juga, janji lo bakal mubajir. yang mereka mau cuma bukti men, bukti. catet.
"mempertahankan itu lebih sulit daripada mendapatkan"
bayangin aja lo ya mempertahankan relationship yang udah kadaluarsa rasa kepercayaannya, udah non aktif masa kebahagiaannya. sampe pasangan lo bilang "gue ga mau lagi ngerasain cinta kayak begini, gue cuma mau berbagi cinta sama keluarga gue", sakit ngga lo?
lo ngga harus mempertahankan apa yang lo punya kog kalau apa yang lo pertahankan ngga bahagia sama lo. ngga perlu, lo egois dong namanya kalau harus mempertahankan orang yang ternyata cuma ngerasa sakit sama lo tapi orang itu nahan siksa. lepasin aja, biarkan dia pergi dan mencari kebahagiaannya sendiri.
"kebahagiaan itu kita yang ciptakan, bukan mereka"
sah-sah aja kalau lo ngerasa demikian. tapi kalau kebahagiaan itu bukan lagi kita yang ciptakan, maksudnya salah satu tidak merasa bahagia, lo masih mau berjuang mati-matian bilang kebahagiaan itu kita yang ciptakan? ngga kan? kebahagiaan itu diri sendirilah yang menciptakan. apapun yang menjadi kebahagiaan kita sendiri belon tentu guys jadi kebahagiaan oranglain. percaya deh.
#
Kamis, 14 Agustus 2014
ANTOLOGI RINDU
ANTOLOGI RINDU
by : Berty Sancaka
by : Berty Sancaka
Pagi adalah milikku seutuhnya. Matahari
seolah merangkul tubuhku erat, menghembuskan perlahan nafas hangat, aroma yang
masih dingin membius hidung, dan kamu melengkapinya dalam sebuah kalimat
“pagi”. Perfecto ! Tapi kita tidak pernah beranjak lebih jauh dari ini, kita
tetap disini. Berdua. Ditempat yang sama, tidak melangkah se-mili pun, tidak
merubah gerak sedetikpun, kita selalu seperti ini. Tetap begini. Dan aku tidak
pernah tau menyebut kita ini apa, entah bagaimana dengan kamu. Aku tidak tau.
Sementara yang aku tau, aku hanyalah celah kebosananmu, kesedihanmu,
kepedihanmu, kekecewaanmu, kegalauanmu, kerinduanmu (yang tidak pernah tuntas
untuk orang yang kamu cinta), akulah pelarianmu paling setia dalam setiap ketidaknyamananmu.
Sampai kapan kita terus seperti ini? Bolehkah aku lelah? ― Rhea.
~
Tetaplah
seperti ini, menjadi apa yang tidak bisa aku lakukan seperti apa yang kamu
lakukan untukku. Aku mencintai keadaan seperti ini Rhe, andai kamu tau. Aku mau
kamu ada disetiap kondisi minusku. Maaf Rhe jika aku belum sempat membawakan
kebahagiaan untukmu. Aku harap kamu mengerti keadaanku, keadaan yang membuatku
belum siap membuka hati untuk siapapun. Sakit itu belum tuntas Rhe, maaf jika
banyak waktumu terbuang untukku dan tidak pernah ada untungnya bagimu. Tapi aku
butuh kamu Rhe, butuh kamu walau hanya lewat pesan singkat & suara. Aku
butuh kamu ! ― Ruben.
~
Lebih dari 365 hari, 8.760 jam,
525.600 menit, 31.536.000 detik, lebih dari semua itu aku menunggu. Menunggu apa
yang disebut ketidakpastian. Bisakah kamu beri penjelasan secara gamblang siapa
Rhea bagimu Ruben? Kenapa kamu memilih seorang Rhea untuk menjadi teman
pengendap sepimu? Kenapa harus aku Ben? Tanggungjawab sebagai teman di posisi
seperti ini menyulitkanku Ben. Kenapa kamu ngga ngerti gimana perasaanku,
kenapa kamu biarkan perasaanku menggantung setinggi-tingginya buat kamu Ben?
Ben, aku mau kamu kasih keputusan untuk hubungan ini, hubungan kita. Hubungan
yang nggak pernah aku ngerti jalan ceritanya. Kasih aku alasan, perlukah aku
mempertahankan hubungan tanpa nama ini Ben? Ben, jawab Ben.
― Rhea.
Demi
apapun belum pernah aku masuk dalam kehidupan seseorang berlarut-larut dan
selama ini tanpa status apa-apa. Aku dan Ruben, dua manusia klasik yang hampir tiap
hari saling mencurahkan perhatian lebih antara satu sama lain. Berawal dari
pertemuan kita yang tanpa disengaja di sebuah café. Sore itu aku duduk sendiri
sambil menunggu pesanan cappuccinoku datang. Sementara itu juga aku menyibukkan
diri dengan memanfaatkan free wifi fasilitas café, ada beberapa tugas kampus
yang harus aku rampungkan sore itu. Beberapa menit kemudian pelayan café itu
datang menyodorkan secangkir cappuccino hangat yang tadi ku pesan.
“Makasih”,
lirihku sambil menguraikan senyum.
“Sama-sama
mbak”, jawab waitress itu disusul senyum yang tak kalah ramah.
Aku kembali mengotak-atik sony vaioku
dan mengabaikan cappuccino hangat itu dimeja tanpa ku sentuh sedikitpun. Tidak
berapa lama aku dikagetkan oleh seseorang yang nggak aku kenal. Laki-laki.
Tingginya sekitar 170 cm, berat badannya ideal, postur tubuhnya mencirikan
bahwa ia seorang atlet, berkulit sawo matang, manis. Ia berdiri tepat dimeja
dimana aku duduk. Ia menyunggingkan senyuman kecil, senyuman yang menambah
kadar kemanisannya.
“Hai.
Eh iya tadi waitressnya bilang salah ngasih cappuccino sama kamu. Itu dimeja
kamu moccacinoku. Ini cappuccino kamu”, laki-laki itu menyodorkan cappuccinoku
yang tertukar.
“Oh ya? Untung saja belum aku
minum. Ya udah, sini cappuccino ku”, aku merebut cappucinoku darinya.
“Eng… boleh gabung nggak? Aku
sendirian soalnya, aku lihat kamu juga nggak lagi nunggu siapa-siapa”,
celetuknya sambil celingukan.
Aku menghentikan aktivitasku.
Menutup sony vaioku dan mempersilahkan cowok tampan yang mubajir banget kalau
sampe dia aku cuekin habis-habisan.
“Boleh. Duduk aja” aku
mempersilahkan semanis mungkin.
“Boleh tau nama kamu?” cowok itu
kemudian menyodorkan tangannya.
“Rhea” jawabku membalas sodoran
tangannya.
“Ruben”, jawabnya. “Sendirian kan?
Bener ngga lagi nunggu siapa-siapa kan mbak?”
“Ahahaha, iya sendiri aja kog.
Jangan panggil mbak kesannya tua banget. Panggil Rhea aja mas”
“Lho, kog malah kamu balas aku
panggil mas? Dendam ya kamu karena ngga mau terkesan lebih tua?”
“Siapa yang dendam, ngga kog”
jawabku cekikikan.
“Lho ketawa dia, ngejek ya karena
wajahku ngga bisa bohong kalau lebih tua dari kamu?”
“Pliss deh Ben, jangan sok sensi
deh ya”
“Hahaha, kamu asyik juga ya. Aku
pikir tadi kamu orangnya cuek, sombong, belagu. Ngga kepikiran tadi bakal
disambut baik pas ngasih cappuccino yang tertukar sama moccacinoku”
“Jadi kamu pikir aku bakalan siram
kamu dengan cappucinoku gara-gara pesanan kita tertukar? Gila ya, aku ngga
sesinting itu Ben”
Perkenalan itu berlanjut sampai short message service. Ruben seorang
mahasiswa Psikologi di Universitas Swasta angkatan setahun lebih muda daripada
aku, tapi umurnya lebih tua dua tahun dari aku. Jadi ngga salah dong, tadi pas
aku panggil dia mas. He… He… He… Sebelum memutuskan untuk kuliah di Psikologi,
Ruben adalah seorang staff di grapari telkomsel. Dua tahun bekerja, akhirnya
dia resign dari grapari telkomsel
karena tuntutan ibunya yang mewajibkan anak laki-laki satu-satunya itu untuk
kuliah. Ruben manut-manut aja setelah pendiriannya untuk tetap bekerja ditolak
mentah-mentah oleh ibunya. Ayahnya meninggal, sejak ia lulus SMA. Ruben tinggal
bersama ibu dan seorang adik perempuannya. Ibunya bekerja sebagai owner boutique hijab & pakaian
muslim. Memasuki semester ketiga Ruben jatuh cinta, jatuh cinta sama teman
seangkatannya. Irene. Cewek beruntung yang bisa membuat hati Ruben luluh. Dia
berjilbab, kulitnya putih, tinggi, cantik. Namun cinta keduanya harus kandas
setelah mereka memasuki semester ke delapan. Irene dilamar oleh laki-laki yang
sudah mapan. Akhirnya keduanya melangsungkan tunangan. Ruben hancur. Ruben
seperti kehilangan dirinya sendiri. Irene melekat menjadi kenangan terindah dalam
ingatan Ruben. Setelah kejadian itu berlangsung selama setahun, barulah secara
tidak sengaja di café itu aku dan Ruben bertemu. Sampai saat ini cerita Irene
tidak pernah habis Ruben uraikan. Dan aku? Aku punya hak apa untuk cemburu sama
sosok Irene yang jauh diatas kata sempurna? Perkenalkan sodara-sodara sekalian,
inilah manusia paling tolol sedunia Rheananda Wilyagana.
#
To
: Rhea
From
: Ruben
Rhe, ngapain kamu?
To : Ruben
From : Rhea
Di perpustakaan kampus Ben. Why?
To : Rhea
From : Ruben
Busy?
To : Ruben
From : Rhea
Ngga Ben, lagi nongkrongin novel sastra. Mau aku pinjam beberapa.
What’s wrong Ben?
Kriiinnnggg
! Kriiinnnggg ! Nama Ruben
tertera di LCD handphone ku.
“Halo. Iya Ben?” jawabku pelan. Taulah, kondisi perpustakaan pasti
tenang jadi ngga mungkin aku angkat telepon dari Ruben dengan suara yang
membuat para pembaca disitu melototin aku gara-gara terganggu kebisinganku.
“Abis dari perpustakaan mau kemana Rhe?”
“Langsung balik ke kost Ben”
“Udah makan belum?”
Aku mengangguk, aku lupa kalau Ruben tidak sedang melihatku. “Udah
Ben”
“Yah, kog udah sih Rhe?” suara Ruben terdengar manja.
“Iya gimana lagi, kenapa sih?”
“Aku mau ajak kamu makan siang abis kamu dari perpus. Mau ya?
Makan lagi yuk, temenin aku. Aku jemput 10 menit lagi ya. Byeee”
Klik.
“Ruben? Halo? Ben… Hal... tiiit tiiit tiiittt.
Terputus.
Ben,
semakin kita ketemu seperti ini semakin terdesak kuat perasaanku ke kamu. Aku
serasa ada diruang sempit, ngga bisa bergerak. Aku mau pergi jauh dari tempat
dimana tempat itu tidak memperlihatkan kamu lagi. Atau kamu yang pergi jauh
Ben, jangan pernah kabari aku lagi dengan ajakan makan siangmu, keluhanmu
ketika kamu sakit, candaanmu yang ngga ada habisnya, dan semua yang
mengingatkan ku tentang kamu.
Tuuut
tuuut…
1
New Message
To
: Rhea
From
: Ruben
Buruan, aku udah diparkiran perpus. Cepet ya, cacing2 perut pada
demo anarkis nih.
To : Ruben
From : Rhea
Sabar dikit. Aku dilantai 3 ini bro.
To
: Rhea
From
: Ruben
Iyaaa mbak bro…
“Sorry Ben, lama” aku
menutup pintu mobil.
“Iya udah santai aja,
bebek galak cak Os mau ngga?”
“Emmm…” belum sempat aku
meneruskan kata-kataku Ruben keburu nyamber.
“Jangan nolak, aku tau isi hati kamu Rhe kamu paling ngga bisa
nolak sama makanan pedes apalagi bebek galak cak Os yang bikin lidah goyang
itik”
“Apaan sih Ben”
“Nyesel lho kalau kamu cuma liatin aku makan, kamunya nelen ludah
doang”
“ih, apaan sih kamu” aku tertawa ngga tahan sama kelakuan Ruben
yang hobbi ngiming-ngimingi aku begini.
“Tapi aku bukan orang yang tega biarin seorang Rhea nelen ludah
doang, jadi makan ya. Plisss bos” Ruben menempelkan kedua tangannya sok-sok nyembah
gaya manja.
“Iya iya anak buah, ayo berangkat cepetan”
“Hahahaaa, berangkat” gas poll rem blong alias ngebut.
~
“Rh...O...Eeee” Ruben membuka percakapan
sambil melahap lahapan pertama ke mulutnya setelah kami menunggu pesanan bebek
galak menu favorit warung makan cak Os.
“Telan dulu Ben, baru ngomong”
“Tadi aku ketemu Irene. Di kampus”
“Hah?” Uhukkk... Uhuuukkkk...
“Rhe, are you okay?”
Aku meneguk teh cup besar “Ga-pa-pa Ben.
Terusin ceritanya”, aku menelan ludah.
“Dia ngajak aku ngobrol. Dia pegang tangan
aku Rhe. Dia bilang dia masih sayang sama aku”
“Terus terus kamu bilang apa sama dia?” aku
melahap lahapan pertama bebekku.
“Aku tanya balik, sebenernya dia lebih
sayang sama siapa sih, aku atau Deny, calon lakinya yang sok oke itu”
“Hahaaa… Cemburumu frontal kalau lagi
cerita sama aku. Terus? Dia jawab apa Ben?” tanyaku penuh nafsu.
“Dia bilang sayang aku dan Deny, dua-duanya
punya porsi yang sama”
“Terus kamu bilang apa?” aku melahap
lahapan kedua.
“Aku bilang, aku ngga bisa buat apa-apa
kalau Irene masih sayang sama Deny, si manusia alien itu”, imbuh Ruben.
“Kamu dan Deny berarti punya ruang yang
sama dihati Irene. Kenapa ngga kamu perjuangkan Irene sih Ben? Toh dia sama si
Deny yang kata kamu manusia alien itu kan masih tunangan belum berkibar tuh
janur kuningnya” jawabku asal, sebenernya dalam hati bete banget. Bebek galak
ini berasa nyetrum, aku yang berubah jadi galak denger nama Irene.
“Enak aja kamu ngomong Rhe, harga diri Rhe.
Aku ngga mau merebut apa yang sudah menjadi milik orang Rhe. Gak aku banget
yang begitu, walau janur merah, janur kuning, janur ijo ngga berkibar aku ngga
mau. Ngerasa bodoh aja kalau aku memperjuangkan apa yang udah menjadi
kepemilikan orang lain. Gak ah”
Ben, aku belum menjadi kepemilikan orang
lain Ben, serius Ben. Kamu ngga harus memikirkan panjang lebar tentang harga
diri kalau kamu mau melihat “aku” sedikit aja. Aduh otak ku ini ya ngga penting
banget isinya disaat Ben merasa jadi orang bego begini.
“Iya sih Ben, gimanapun juga Irene sama
Deny udah punya ikatan khusus. Sekalipun kamu masih punya hak merebut Irene
dari pelukan Deny, tapi… Aku ngerti perasaan kamu. Move on Ben satu-satunya
cara”
Ruben terdiam. Ia tampak memikirkan kalimat
terakhir yang terlontar bebas dari bibirku.
“Move on? Susah Rhe. Aku sama Irene jalan
sejak semester tiga dan putus gara-gara makhluk astral itu di semester delapan.
Hampir dua tahun setengah aku jalan sama dia Rhe. Terlalu banyak kenangan,
berat buat aku” Ruben menghentikan makannya.
“Jadi sampai kapan kamu terus seperti ini
Ben? Sampai kapan?” nadaku meninggi. “Kamu pikir selama ini aku seneng ngadepin
kamu yang galau cuma gara-gara seorang Irene yang ngga punya hati ninggalin
kamu demi laki-laki yang lebih mapan? Aku bosen Ben peduli terus sama kamu. Aku
bosen denger kamu ngeluh tentang hal gak penting seperti ini, aku bosen denger
kamu putus asa gara-gara satu nama, satu nama Ben… Irene. Kamu ngerti ngga sih
perasaan aku kayak gimana? Aku muak Ben, maaf aku bukan teman yang baik Ben”
aku pergi meninggalkan Ruben yang mendadak diam.
“Taxi” aku menoleh kebelakang, Ruben tak
nampak. Ruben tidak mengejarku. Harusnya aku ngga bersikap kayak anak kecil
seperti ini. Ruben melihatku sebagai Rhea, ngga lebih. Ya ampun, bodohnya aku.
Malu banget kalau sampai nanti harus ketemu Ruben lagi. Mau aku taruh mana wajah
cantikku? God help…
#
Sebulan… Dua bulan… Tiga bulan… Jadi ini
udah bulan ketiga aku ngga menggantungkan hidupku sama Rhea? Gila ya, selama
ini aku tanpa Rhea dan selama itu aku menghabiskan waktu frustasiku. Tanpa
Rhea. Tanpa Rhea. Kangen kamu Rhe, Rhe kamu dimana sih Rhe? Kamu bisa banget
ngga butuh aku ya. Aku disini nahan kangen segininya sama kamu. Kamu denger
ngga sih panggilan hati aku ke kamu? Ibarat missedcall udah keriting nih hati
aku Rhe. Tinggal nunggu keringnya doang abis itu aku lemparin sama zombie. Rhe,
kamu kemana sih Rhe telepon aku kamu abaikan, sms aku cuma kamu intip doang
(iya kalau diintip, kalau langsung di delete gimana coba? kePDan banget sih
aku). Rhe, aku nyesel Rhe giniin kamu. Seandainya aku tau kalau kamu juga
perempuan yang bisa jenuh denger semua curhatan aku, ngga bakal aku cerita
tetek bengek Irene sama kamu Rhe. Rhe, kamu tega banget ya nodong aku sama
kerinduan sesinting ini? Kamu rela banget sih lihat cowok setampan aku gila
karena kamu. Hah? Gila karena Rhea? Ya ampun, aku lagi nggak gila beneran kan?
Aku kenapa sih? Kenapa Rheananda Wilyagana mulu yang muncul di layar lebar otak
ku? Rhe, tolong aku. Selamatkan aku dari kesinting-miringan ini Rhe… ― Ruben.
~
Ben, kamu
ngapain sih Ben selama tiga bulan ini? Rasanya nyesel ngga berani angkat
telepon kamu, ngga bales sms kamu. Yah, mau gimana gengsi aku lebih gede
daripada perasaanku ke kamu Ben. Mungkin aku ngga bener-bener cinta kamu ya
Ben. Atau aku harus move on dari kamu kali ya Ben? Ngapain juga pertahanin
rindu sampe tumpah-tumpah begini sama orang yang ngga pernah rindu sama aku?
Tapi gimana caranya ngebuang perasaan ini Ben? Susah Ben, kamu tau ngga sih,
susah. Nama kamu kuat banget dihati aku. Kamu pake lem G ya Ben buat ngerekatin
nama kamu dihati aku? Sumpah deh Ben, susah banget ini ngelepas nama kamu dari
sini. Aku harus gimana Ben? Jawab dong Ben, aku harus gimana? Apa perlu aku
bunuh Irene biar dia lenyap dari bumi ini? Terus kamu ngga perlu sebut-sebut
atau cerita-cerita tentang dia lagi. Perlu ya Ben aku bunuh dia? Perlu? Aduh,
pikiran kriminal apalagi coba ini. Ben, sesinting inikah kamu sama seorang yang
bernama Irene Ben? Atau lebih sinting dari sintingnya aku ke kamu Ben? Coba
kamu bisa lihat sedikit aja mata aku Ben, terus kamu terjemahin tuh tatapan aku
ke kamu gimana. Biar kamu tau rasanya jatuh cinta aku ke kamu itu kayak apa?
Kayak lagi kecanduan kali ya Ben. Iya mungkin. Dan sekarang aku butuh tempat
rehabilitasi biar lupa sama kamu, sama nama kamu Ben. Ben, bunuh aku kalau
perlu. ― Rhea.
~
Tiga bulan bukan waktu yang singkat
untuk keduanya tidak saling bertatap muka, saling berbagi cerita, saling
bertukar suka-duka. Tapi hari ini Rhea dan Ruben dengan penuh ketidaksengajaan,
keduanya bertemu di café tempat dimana Rhea dan Ruben bertemu pertama kali.
Rhea datang bersama Alex, Alex sahabat Ruben. Alex sendiri tidak sengaja
merencanakan pertemuannya dengan Ruben karena sudah lama Alex tidak bertemu
Ruben. Alex kuliah di luar kota. Dan beberapa minggu kedepan Alex menghabiskan
liburannya di tanah kelahirannya, tanah kelahiran Rhea dan Ruben juga tentunya.
Ruben kaget setengah mati melihat Rhea turun dari mobil, mobil yang Ruben
kenal. Mobil Alex.
Rhe, kalau aku masih tidak bodoh
seperti sekarang aku mau kembali Rhe, aku mau kembali jadi Ruben yang bisa
membahagiakan kamu. Melupakan nama Irene. Aku sadar selama ini yang aku cari
bukan Irene, tapi kamu. Kamu Rhe… Tapi aku sadar aku sudah jauh tidak berguna.
Kamu dan Alex… Sialan ― Ruben.
~
Ben,
tolong jangan menyimpulkan apapun setelah tiga bulan kita ngga pernah ketemu,
ngga pernah bertukar kabar, pliss Ben tolong buang apa yang kamu lihat
sekarang. Aku kenal Alex sebelum kamu mengenal aku. Kita sekedar teman, tolong
jangan rusak pikiranmu tentang aku Ben. Aku tidak membuang daftar nama kamu
dipersahabatan kita, dan menggantikan Alex jadi sahabat baruku. Sama sekali
ngga Ben. Kamu lebih dari sekedar teman curhatku, lebih Ben. Ben… Jangan tatap
aku seperti itu Ben. Aku takut, takut jatuh cinta sama kamu selamanya dan salah
mengartikannya. ― Rhea.
~
“Ben, kenalin nih. Rhea. Anak
sastra” Alex mengenalkanku pada Ruben yang padahal Ruben pasti sudah kenal.
Tapi kita sedang berpura-pura seperti tidak saling kenal. Aku membalas uluran
tangan Ruben.
“Ruben”
katanya dingin.
“Rhea”
balasku.
“Kalian?
Pa…?” belum selesai Ruben menyelesaikan pertanyaannya. Alex nyeletuk.
“Kalian
pesan apa? Biar aku yang pesenin. Ben, mau pesen apa? Rhea mau pesen apa?”
Disaat
yang bersamaan, aku dan Ruben menjawab pertanyaan Alex dengan kompak.
“Cappucino” . . . “Moccacino”
“Wiiihhh
kalian serasi ya jawabnya kompak banget, tapi sayang selera minuman kalian
belum serasi”
Ih apa-apaan sih Ruben pesan
minuman favorit aku. Gila tuh orang. Sintingnya kebangetan. ― Rhea.
~
Sok banget sih tuan Putri satu ini
ngandalkan moccacinoku. Inget ya moccacino itu minuman favorit aku. Eh tapi aku
juga pesan minuman favorit dia. Apa salahnya kita bertukar selera? Sekali-kali
belajar move on sama minuman bolehlah ya. Kan aku udah move on dari Irene. Jadi,
kira-kira mau ngga ya Rhea jadi pacar aku? Eh maap Rhe aku menghayal sore-sore
begini. Sorry, kamu udah punya Alex. Tapi tadi itu aku jujur. ― Ruben.
~
Seandainya kita bisa seperti dulu
ya Ben, aku ngga kekanak-kanakan kita pasti ngga diem-dieman gini. Ben, kamu
tuh ya aku kangen kamu. Kangen aku udah cukup terobati dengan ketemu kamu tanpa
sengaja gini. Ben, mau ngga kita baikan? Eh maap deh, kamu mana mungkin mau
percaya sama Rhea lagi. Ngga mungkin kan ya? Khayal banget ya bisa jadi temanmu
lagi. Tapi seandainya ada kesempatan Ben, aku ngga nolak Ben. Ngga nolak jadi
temenmu lagi. ― Rhea.
~
I love you dalam hati Rhe ― Ruben.
~
Ben, perlu kamu tau cewek yang aku
kenalin tadi itu punyaku Ben. Rheananda Wilyagana, sang juara hatiku. Mantap ngga
pilihan aku? Suatu saat aku yakin dia jadi milikku seutuhnya. Aku butuh
dukunganmu Ben, sobat. ― Alex.
#
Langganan:
Postingan (Atom)