Menyimpan
Rindu
Rindu... R-i-n-d-u
Beberapa kali ku coba menelaah kata
yang menyimpan miliaran rasa : suka cita atau siksa, madu atau racun, surga
atau neraka, malaikat atau setan, entah definisi rindu itu tidak bisa terjamah
dengan tegas. Rindu bagi seorang pujangga sendiri adalah objek yang menjadikan
pena menari-nari diatas kertas, luas tanpa dibatasi langit, angkasa dan
cakrawala sampai ia mencipta lima huruf menjadikannya murni satu ruang yakni
R-I-N-D-U. Referensi mana yang mampu mendefinisikan rindu secara sempurna?
Rindu itu artifisial !
Rindu itu sel yang berkembangbiak
tanpa bapak-ibunya.
Rindu itu unsur yang berikatan
dengan unsur lain dan menjadikannya senyawa.
Rindu? Rindu itu... (hening – diam –
tanpa jawaban)
Rindu itu api yang menyala-nyala
dalam tungku.
Rindu itu malam yang disalib
kekasihnya, pagi - begitu juga sebaliknya.
Rindu itu kebodohan diam-diam.
Rindu itu anjing !
Rindu itu maling !
Rindu itu atheis antara realis atau
fantastis.
Tidak ada rindu yang tidak sempurna,
ia sempurna bagi pemiliknya untuk siapapun, tidak terkecuali kepada yang tidak
sempurna. Rindu itu magis.
Sudah lama aku simpulkan sajak-sajak
rindu yang menggebu-gebu, hingga ia lusuh berdebu dalam tumpukan sabu-sabu. Namun
ia tetap tinggal ditempat yang layak, leluasa, bebas, melompat, berlari, jatuh
ataupun berdiri. Ia suka-duka paling sempurna.
Rindu ku tidak pernah cukup, tidak
pernah. Suatu pagi, ku coba simpan ia di langit. Cantik. Tapi langitpun mati.
Ku simpan dalam laut, beribu sayang lautpun tak mampu menampung. Ku titipkan ia
pada angin, namun tak sampai. Ku hembuskan lewat udara, ia hilang. Sampai pada
ujung dimana rindu ini bertemu dengan rindunya dan menjadikannya titik api. Kecil,
tapi membakar keduanya.
‘Hai’, serunya membuka suasana yang
beku.
‘Hai juga’, jawabku sedikit gugup
disusul pandangan liar kearahnya.
Kami terbuai bisikan waktu, hanyut
dalam konferensi meja rindu. Kau pun mungkin takkan punya daya ketika
dihadapkan dengan energi yang kuat seperti ini. Inilah kekuatan magnet antara
kutub utara dan selatan. Meluruh tak karuan. Meleleh cepat bagai api membakar
lilin.
‘Kamu, tidak segemuk kemarin yang
aku lihat di pasar senin’, katanya kemudian mencairkan suasana yang masih beku.
‘Mungkin karena kapan hari design
baju kamu yang membuatnya tampak gemuk’ ia membuka awalan konferensi tanpa preposisi,
tanpa prolog, basa-basi dan sejenisnya.
‘Mungkin begitu’, kataku malu.
Dia mengerti apa tentangku dan
perasaanku saat ini? Sungguh kacau balau. Ibarat gelas dituangkannya air panas
kemudian ia tidak perlu lagi menunggu detik, menunggu potongan kata, menunggu
hela nafas : pecah. Kami kembali diam. Melampiaskan perasaan dalam kerumunan
bintang, jalan beraspal, roda-roda motor yang berputar cepat, sampai seluruh
tubuhnya sudah ku telanjangi dengan mata belantara tanpa si tuan tapi tidak
untuk bagian tubuh yang satu ini, mata.
‘Kamu sendiri kesini?’ alih-alih
pertanyaan bodoh yang sudah terbaca jelas jawabannya. Seperti ini rasanya dibodohi
diri sendiri dan manusia alien didepan
ku yang sama sekali tidak ku mengerti perasaannya.
‘Seperti yang kamu lihat’, katanya dengan
nada dingin.
Ia sekarang terlihat aneh, lebih
aneh dari alien yang saya tau. Raut wajahnya
sedikit menginfeksi tentang apa yang ingin aku baca darinya. Tapi aku tetap
tidak tau. Aku bukan filsuf panca indera yang mampu sekenanya membaca
garis-garis khatulistiwa di setiap inci gerakan tubuhnya. Bahkan logika ku mati
kalau bicara tentang kamu. Abstrak.
‘Kita disini saja? Kamu ngga gabung sama kita aja di dalam? Aku sudah
pesan cappucino, ga enak kalau
kelamaan. Adikku juga di dalam sendirian’
‘Biarin aja, adikmu sendirian’,
katanya tidak peduli. ‘Aku masih pengen ngobrol sama kamu. Ga mungkin juga aku
masuk. Penampilan ku berantakan gini. Kamu juga ga bilang kalau mau ke cafe, jadi aku sekedar mampir pengen
ketemu kamu walau sebentar’.
‘Ya aku juga ga sengaja sih mampir
kesini. Ini cafe baru soalnya, jadi penasaran sama menunya’.
‘Oh gitu’
‘Kamu memang niat dari rumah mampir
kesini atau gimana?’
‘Tadi aku ke studio foto temen,
biasalah numpang nongkrong aja disitu. Tiba-tiba dapat message dari kamu kalau kamu lagi di cafe ya aku samperin. Lagipula kangen banget sama kamu, udah lama
kita ga ketemu ya’, dia balas satu
simpul senyum kecil.
Tuhan, aku bisu sekarang. Aku bingung
mengumpulkan kata-kata, kemudian menyaringnya agar apa yang akan didengarnya
pantas.
‘Iya, lama sekali. sudah
bertahun-tahun. Terakhir ketemu kamu, waktu aku berhenti dari dunia basket dan
itu terkalkulasi 6 tahun. Lama juga ya?’ kita hanyut dalam kemesraan tawa.
‘Lumayan lama. Ya udah deh, gitu
aja. Besok kalau kamu mau jalan sms aja. Aku temenin’
‘Iya. Makasih banget ya’
Aku
bak tersihir. Hilang ingatan, lumpuh, kelu. Rasanya dunia ini elastis,
bagaimanapun kekuatan kita menarik dunia, ia akan kembali dalam bentuk seperti
semula. Dengan alasan apapun kita terpisah ujung-ujungnya bertemu juga.
Setelah pertemuan itu, tidak ada
konferensi meja rindu kedua, ketiga dan seterusnya. Konferensi meja rindu itu
untuk pertama dan terakhir, selanjutnya rindu ini kembali menjadi benih baru yang
ditanam secara tabela. Semakin hari
ia tumbuh, tumbuh tinggi dan besar seperti Jabon. Akarnya semakin dalam dan
menyamping jauh dengan cepat. Kuat. Pertumbuhannya kilat setiap satu pikodetik.
Aku dijajah rindu bangsat keparat, lagi !
Aku pusing tujuh keliling. Habis sudah
seluruh organ penting dalam diriku. Otak mengikis, hati rapuh, mata keriput,
tua sudah aku. Tua juga rinduku. Namun ia tetap janda tanpa laki-laki yang
meminang rindunya. Akankah gugur dan kembali menjadi benih yang terus-menerus tumbuh
dari kecil sampai besar hingga banyak? Cukupkah petak satu hektar? Cukupkah
airhujan menyiraminya? Cukupkah pupuk berton-ton menyuburkannya? Cukupkah waktu
untuk memanennya? Tidak!
Tiap hari rindu ini menyeragami
tubuh. Ia melapisi bagian hati sampai tebal dan tak ada ruang untuk rindu-rindu
yang lain. Rindu ini semakin hari makin liar. Ia tidak kenal musim, musim
kemarau atau penghujan. Ia juga tidak kenal musim tanam tembakau, ia hanya
kenal musim singkong kapanpun ditanam kapanpun dipanen. Rindu ini juga takkan
binasa, tak jua bersuara, tak ada saksi mata ia hanya sekelumit aksara ha-na-ca-ra-ka membacanya pun dengan terbata-bata.
Matanya
meraup rupa wajahnya memenuhi seluruh pupil, mengisi tiap mili jangkau pandangnya.
Menatap jemu tanpa jenuh tanpa jeda. Kemudian dilinangkannya airmata rindu yang
disanjung-sanjung menjadi benalu tanpa inangnya. Ia begitu sangat lihai menggulung
badai. Rindu itu tak bernama, tak bertubuh, tak rupawan, namun sederhana. Pemiliknya
cuma satu, tapi tak seorangpun tau.