Langit
mencengkram bumi dengan tangan-tangan indahnya, memecah kegelapan dengan sinar
cahaya. Rona wajah langitpun mulai nampak seiring matahari yang berjalan
perlahan. Ku dengar kicauan burung yang menghiasi pagi ini, suaranya merdu. Aku
beranjak dari tempat tidur dan praaanggg,
rupanya aku menjatuhkan sesuatu. Aku menghela nafas sebelum mengambil sesuatu
yang jatuh itu. Hemh, sebuah
figura...
Fotoku bersama
seseorang...
Aku
jadi teringat sesuatu, teringat suatu kejadian yang membuat aku berfikir
tentang arti cinta. Seseorang yang ada di foto itulah yang membuatku demikian.
Dia
sosok yang hebat menurutku. Dialah pejuang ku, lebih tepatnya pejuang hatiku, hehehe. Dia laki-laki yang aku tau amat
mencintai ibunya. Dialah yang selalu memperlakukan ku istimewa, istimewa karena
dia memandangku sebagai wanita berharga. Dia adalah pahlawan ku ketika aku
terjatuh dalam jurang yang dalam dan dia mampu menjadi lakon yang sangat lucu
ketika aku pasang tampang sedih, ngga kalah lucunya sama pemeran opera van java. Dia lelaki super
istimewa deh. Ngga ada yang bisa
menandingi keistimewaannya, hehehe. Biar
ngga bikin penasaran, aku kenalkan saja sosok yang sangat mempesona ini,
namanya Rendi. Dia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Apapun tentang dia
nilainya A dimataku.
Rendi
itu kekasihku. Betapa dia sangat istimewa dimataku, bagaimana tidak? Dia selalu
memanjakan ku, jadi ngga heran kalo aku manja banget sama dia. Kalo pas aku
lagi bawa bekal ke sekolah, pasti dia suapin pas jam istirahat dan aku pasti
sibuk mengunyah makanan ku sambil mengerjakan tugas yang belum selesai. Persis
anak kecil yang sedang disuapin ibunya kalo lagi susah di ajak makan. Cuma
bedanya aku ngga merengek kayak anak kecil. Ya jelas, masa SMA masih merengek?
Yang benar saja. Rendi itu bak pangeran seperti di negeri dongeng yang selalu
menjadikan aku ratu. Hemh, begini nih
berangkat sekolah aku di jemput sampai pulang pun aku diantar. Pergi les dan
latihan basket pun aku diantar, ya pulangnya pasti dijemput dia lagi. Yah,
11-12 lah sama ratu Elizabeth yang selalu dikawal kemanapun dia pergi. Bedanya ratu
Elizabeth menaiki studebaker1nya
kemanapun dia pergi, kalo aku cukup kereta2
saja. Setiap hari ulang tahun ku tiba, sebuah kado dengan bungkus paling besar
pasti darinya. Biasanya isi di dalamnya boneka dengan ukuran besar. Jadi ngga
heran kalo dikamarku banyak terpajang boneka, selain dari dia juga dari
teman-teman sekolah yang turut menghadiahkan ulang tahun ku dengan kado.
Kebetulan juga aku sangat senang dengan boneka, alhasil aku bisa mengoleksi
benda kesayangan ku itu tanpa membeli, lucu-lucu lagi bonekanya. Sama halnya
dengan valentine’s day. Rendi biasanya menghadiahkan boneka ditambah ciri khas
val’s day, cokelat. Rasanya hidupku ini penuh dengan kejutan yang luar biasa.
Berbicara masalah kasih sayang, Rendi adalah laki-laki yang sangat menyayangi
ku. Dia mencintaiku apa adanya. Perhatiannya dia limpahkan semua hanya untukku.
Cintanya dia berikan seluruhnya hanya untukku. Kasih sayangnya dia curahkan
semua untukku. Kesetiaannya, tak ada siapapun yang bisa menandingi tanda
kesetiaannya itu. Bagaimana dengan ku?
Flashback
20 Maret 2009,
Sore
itu aku sedang les bahasa inggris. Kebetulan aku berangkat tidak diantar pangeran Rendi. entah kenapa sepanjang
perjalanan menuju tempat les, aku merasa perasaanku ngga enak. Seperti sedang
gelisah.
“Ah,
mungkin perasaan Dinda aja” gumamku.
Aku
berusaha mengenyahkan perasaan yang mengganjal itu. Namun tetap saja perasaan
ngga enak ini hinggap dan ngga mau pergi.
Sesampainya ditempat les...
Hampir
1 jam sudah terlewati aku mendengarkan celotehan ibu Mina dengan logat
keminggrisnya itu. Kemudian handphone ku bergetar. Rupanya sms dari Rendi.
Beginilah percakapanku dengan Rendi lewat ‘Short
Message Service’.
1
: Studebaker (pengucapan Inggris: / stju ː dəbeɪkər / rebus-də-bay-kər )
Corporation adalah Amerika Serikat wagon dan mobil produsen yang berbasis di
South Bend, Indiana . Didirikan pada tahun 1852 dan didirikan pada tahun 1868
di bawah nama Perusahaan Manufaktur Saudara Studebaker, perusahaan awalnya
produsen wagon bagi petani, penambang, dan militer (sumber : google.co.id)
2
: Kereta (istilah melayu) artinya sepeda motor (dalam bahasa indonesia baku)
[Rendi]
: Syg, sore ini ada les kan?
[Dinda]
: Ya syg...
[Rendi]
: Udah nyampek sekolah blum?
[Dinda]
: Aku lagi les syg
[Rendi]
: O... Ya sudah les dulu syg...
Beberapa menit kemudian
[Rendi]
: Syg, aku kecelakaan !
Waktu
les usai, segera aku menuju parkiran dan langsung menuju rumah sakit kota yang
ditunjukkan Rendi, tempat dimana dia dirawat. Sepanjang perjalanan cuma dia
yang aku pikirkan. Aku takut keadaannya lebih parah dari apa yang aku
bayangkan. Aku tidak bisa berfikir tentang apapun saat itu. Hanya Rendi, Rendi,
Rendi dan Rendi.
“Tuhan,
aku amat mencintainya... Tolong dia Tuhan. Aku sangat menyayanginya. Semoga dia
baik-baik saja” gumam ku dalam hati.
Semakin
dekat jarak ku dengan rumah sakit. Jantungku mulai berdetak ngga karuan, aku
takut. Tangan dan kaki ku mulai sedikit bergetar. Aku takut melihat keadaan
yang tidak akan baik terjadi pada Rendi. Keringat mulai membasahi kedua tangan
ku. Jantungku berdetak semakin cepat. Entah pikiran ku mulai kacau. Semua ini
terasa membebaniku. Berat...
Dan
akhirnya akupun sampai depan pintu pagar rumah sakit. Dengan cepat aku membawa
motor ku menuju parkiran. Dari jauh aku lihat sosok yang masih sangat tampan
berjalan ke arah ku. Wajahnya masih penuh senyum. Dia yang ku khawatirkan
terlihat kuat disaat kondisinya lemah. Aku tau dia berbuat begitu agar aku
tidak mengkhawatirkannya lagi. Tapi memang melihat senyumnya aku sedikit merasa
tenang, walau detak jantungku belum mau berhenti. Dia menutup hidungnya dengan
tissue.
“Sayang,
kamu ngga apa-apa?” tanya ku mencoba mengusir perasaan takut ku sendiri.
“Ngga
apa-apa sayang, cuma...”
“Cuma
kenapa sayang?” aku jadi penasaran.
“Dinda
sayang, hidungku patah. Bentar lagi mau di rontgen.
Dinda tenang ya sayang”
Mendengar
Rendi berkata demikian, tubuhku lemas. Rasanya kaki ini ngga mau melangkah
lagi. Kalaupun ngga dilarang satpam, aku ingin duduk di tengah-tengah jalan
ini, tempat lalu lalang ambulance. Biar saja, aku dianggap orang tak waras. Aku
sudah letih berjalan. Rendi yang berjalan mendahului ku, kemudian berbalik
menuju arah ku yang berjalan sambil menundukkan kepala.
“Dinda
kenapa sayang?” Rendi mengangkat dagu ku.
“Ngga
papa sayang” aku mencoba tersenyum walau sebenarnya menahan sakit.
“Emmm,
Rendi apa harus dioperasi?” lanjutku kemudian.
Rendi
tersenyum manis sekali.
“Ngga
sayang. Mungkin ngga sampai operasi. Sayang tenang aja ya. Rendi baik-baik aja
kog sayang”, Rendi kemudian menarik tissue yang menutup hidungnya. Dari situlah
kemudian aku melihat tissue itu berlumur darah. Hidung Rendi basah karena darah
ngga mau berhenti dari hidungnya. Aku semakin lemas. Perlu kalian tau kawan,
aku mengidap phobia terhadap darah dan penyakit ini disebut hemophobia. Rasanya badan ku lemas
ketika melihat darah yang mengalir dari hidung Rendi. Berat rasanya kaki untuk
melangkah. Tangan dan kaki bergetar walau tidak begitu terlihat. Rasanya kaki
ku ngilu. Begitulah hemophobia yang
aku rasakan. Tapi aku tidak memperlihatkan kesakitan ku di depan Rendi. Karena
aku tau Rendi lebih membutuhkan perhatian ku.
“Sayang,
Rendi masuk ke ruang rontgen dulu ya.
Sayang tenang ya” Rendi mengusap kepala ku.
Dalam
keadaan seperti ini, dia masih saja Rendi yang penuh perhatian. Seharusnya aku
yang katakan itu pada Rendi, tapi sebaliknya malah Rendi yang menguatkan aku.
Setelah
menunggu beberapa menit, Rendi keluar dari ruang rontgen diikuti kakak
perempuannya, kak Windi.
“Sayang,
Rendi harus disini untuk beberapa jam. Rendi masuk ICU dulu sayang, Rendi mau berbaring
biar darahnya ngga keluar terus” ucapnya lembut.
“Ya
sayang, Dinda ikut ya temani sayang”
Rendi
hanya mengangguk diikuti senyumnya yang masih manis.
Diruang
itu hanya ada aku, kak Windi dan suami kak Windi. Mereka duduk dan saling
bercerita. Sedangkan aku tak bisa di dekat Rendi terlalu lama, karena melihat
darahnya terus mengalir membuat kakiku semakin ngilu. Aku berjalan disekitar
Rendi berbaring. Ada etalase besar yang isinya obat-obatan dan sebagian
peralatan sakit. Aku mencoba mengalihkan perhatian Rendi yang sedang menahan
sakit. Aku baca obat-obatan yang ada disitu. Aku letakkan kembali pada
tempatnya seperti semula. Mungkin Rendi sedang memperhatikan tingkahku. Mungkin
memang terlihat aneh. Tapi ngga ada cara lain untuk menghentikan hemophobia ku ini. Mungkin aku memang
ngga tau diri, disaat Rendi membutuhkan perhatian ku, aku malah sibuk sendiri.
Entahlah, apa yang bisa ku lakukan untuk Rendi sekarang. Yang pasti dibenakku
saat itu, aku berharap Rendi bisa sembuh.
“Ini
harus di operasi, karena tulang bagian kanan menggeser” kata dokter kemudian.
Aku
berharap salah dengar. Semoga telinga ku sedang tidak baik-baik saja.
“Sayang”
ucap Rendi lirih.
Aku
mendekatinya. Wajahnya masih penuh senyum. Dalam keadaan seperti ini dia tetap
memperlihatkan keadaan baik padahal aku tau saat ini dia sedang berjuang
menahan sakitnya.
“Rendi
apa harus dioperasi? Kenapa hidung Rendi? Lukanya parah?”
“Ngga
sayang. Rendi ngga dioperasi kog. Sayang tenang ya”
“Dinda
dengar dokter tadi bilang sayang harus operasi”
“Ngga
sayang, Rendi baik-baik saja. Rendi ngga akan dioperasi. Sayang percaya Rendi”
“Ya
sayang. Dinda balik dulu ya, udah mau menjelang malam. Dinda takut mama
khawatir dirumah”
“Sayang
hati-hati ya”
Aku
mengangguk.
Sudah
seminggu Rendi tidak terlihat di sekolah. Rasanya sepi menerkam seorang bernama
Dinda. Melihat sekelilingku teman-teman lepas dengan tawanya sepanjang
pelajaran. Aku cuma duduk dan berharap setelah hari ini berganti, esok ku lihat
Rendi lagi disekolah. Aku rindu senyumnya, aku rindu candanya, aku rindu suapan
lembutnya, aku rindu semuanya tentang dia. Tapi aku tak bisa berbuat sesuatu,
hanya berharap berharap berharap dan terus berharap dengan harapan besar.
Kabar
terakhir, Rendi tidak dioperasi. Dia hanya pergi ke tempat tukang urut, supaya
hidungnya yang bengkok bisa kembali seperti semula walaupun tidak senormal
dulu.
Handphone
ku berdering...
[Coky]
: denger2 pacar kamu kecelakaan?
[Dinda]
: iya. Aku mohon do’anya ya...
[Coky]
: Denger2 lagi, hidungnya patah ya? Operasi ya?
[Dinda]
: ngga dioperasi Coky, cuma diurut aja. Dia ngga mau wajahnya nanti cacat
setelah operasi. Makanya dia menghindari operasi.
[Coky]
: jangan2 ga operasi gara2 ga da duitnya tuh...
Coky
ini teman dekat ku. Gosipnya sih dia ada feeling sama aku. Tapi aku cuek aja sama
dia. Mungkin sms terakhirnya hanya candaan saja. Tapi sejujurnya aku ngga
terima dia bilang seperti itu. Aku ngga rela kekasihku dihina seperti itu.
Tapi, aku anggap saja omongannya seperti angin yang berlalu begitu saja. Aku
cuma ngga mau terlalu memikirkan orang lain selain Rendi.
Hari
ini Rendi menampakkan batang hidungnya disekolah. Semangatku yang sempat luntur
selama seminggu, kini mulai berkobar lagi. Rendi terlihat agak membaik walaupun
hidung bagian kirinya masih menyisakan bengkak kecil. Melihatnya aku jadi tak
tahan menahan airmata yang ingin jatuh. Sejauh ini Rendi pasti berjuang menahan
sakitnya. Tanpa aku disampingnya, dia masih terlihat kuat.
Maafkan aku Ren, kalau sekolah
menyita waktu ku yang seharusnya untuk kamu. Maafkan aku Ren, yang tega
membiarkan kamu melawan sakit itu sendiri. Maafkan aku Ren... Aku sayang kamu.
Karena aku percaya kamu lebih kuat dari ku. Karena aku percaya kamu mampu
bertahan untukku.
“Sayang
kenapa? Kog diam?”
“Ngga
papa Ren. Mau pulang sekarang? Aku yang nyetir ya?”
“Emm,
Rendi aja yang nyetir. Rendi ga papa sayang”
“Ngga.
Rendi masih sakit. Dinda aja yang nyetir demi baginda raja sekali ini saja ya”
ucapku memaksa.
“Ya
deh. Dinda, Rendi pinjam handphone Dinda ya. Rendi ngga bawa handphone hari
ini. Rendi mau bilang sama bunda, kalau Rendi pulang sama Dinda, jadi biar
bunda ngga jemput ke sekolah”
“Iya
sayang. Ini handphone-nya pake aja”
Mungkin
sepanjang perjalanan Rendi membuka message
dan membaca inbox di hp ku. Setelah
aku mengantarnya pulang, aku mendapati sms dari Rendi.
[Rendi]
: Coky itu siapa?
[Dinda]
: Temen ku. Napa sayang?
[Rendi]
: Bisa ngga dia sopan dikit kalau sms...
[Dinda]
: Aku ngga ngerti. Sayang ngomong apa?
[Rendi]
: Besok aku jelasin...
Perasaan
ku ngga enak. Sms dari Coky masih belum sempat ku hapus. Aku semakin yakin
kalau Rendi besok akan membahas hal ini.
Siang
itu sepulang sekolah...
“Coky
itu siapa Dind?”
“Temen
deket Rend. Dia sekolah di SMA Pelita II. Aku kenal dia pas aku latihan basket
di alun-alun kota. Kenapa?”
“Bisa
ngga dia lebih sopan dikit sms kamu. Bisa ngga dia ngga ikut campur urusan ku,
aku berobat ke dokter kek, ke dukun, ke paranormal, kemanapun, bisa ngga dia
ngga ikut campur? Jujur aku tersinggung Dind. Dind, aku memang bukan orang
kaya. Tapi aku masih mampu sembuh dengan cara ku Dind. Kamu ngga perlu
menyimpan sesuatu Dind. Aku tau dia menyukai mu Dind. Aku tau kabar itu dari
salah satu teman sekelasmu. Aku banyak tau tentang Coky, Dind. Aku tau dia anak
orang kaya. Semua yang dia mau, dia pasti bisa beli. Beda dengan seorang Rendi.
Tapi aku masih punya harga diri Dind !”
“Aku
juga mendapat cerita tentang Coky. Nampaknya dia istimewa ya Dind buat kamu.
Sebetulnya semua ini ingin aku ungkap dari dulu. Hanya tertahan Dind, aku ngga
sanggup kalau harus melihat kamu disalahkan. Aku ngga sanggup Dind. Tapi ini
keterlaluan. Apa istimewa nya Coky daripada aku? Aku yang selalu ada buat kamu
Dind. Bukan Coky. Bukan Coky. Apa istimewanya dia? Kenapa 3 bulan lalu ketika
Coky mendapati kecelakaan kamu begitu perhatiaannya? Kenapa bukan aku Dind yang
mendapat perlakuan itu dari kamu? Kenapa harus Coky? Kenapa saat aku yang
terbaring dirumah sakit kamu malah seolah tidak peduli dengan ku? Kenapa?
Kenapa kamu membiarkan keadaan ku dengan mengalihkannya ke etalase yang penuh obat-obatan
dan alat-alat sakit? Kenapa Dind? Kenapa? Kenapa kamu ngga bisa seperti Marsya?
(Marsya pacar Davin. Davin sahabat
Rendi-red). Tapi dia peduli Dind dengan keadaanku. Saat aku terbaring
sakit, dia menangis untukku Dind. Kenapa bukan kamu Dind yang menangis untukku?
Kenapa harus orang lain yang menangisi aku? Kenapa???”
Aku
hanya terdiam mendengar kata-katanya yang seolah menikam tiba-tiba dan aku
harus mati saat itu juga. Untuk bicara saja, lidahku kelu. Seandainya kamu
paham tentang semuanya Rend, kamu takkan menghakimi aku seperti ini. Seandainya
cinta itu bisa berbicara, aku ingin dia berbicara kepadamu, supaya kamu tau
arti cinta ku untuk kamu.
“Kenapa
aku harus kamu sama kan dengan Marsya, Rend? Kenapa? Jujur saja aku tidak
pernah membandingkan kamu dengan orang lain. Kamu istimewa buat aku. dan karena
kamu beda dari yang lain. Aku harus pulang !” aku pergi meninggalkan Rendi yang
masih diam dikelas. Keadaan sekolah hampir sepi tinggal beberapa orang saja
masih berkativitas. Matahari terik sekali siang ini. Airmata yang sejak tadi
tertahan, kini tumpah ketika aku masuk kamar tidurku. Hal yang tidak terduga
Rendi bisa berkata demikian. Kenapa dia bisa berpikiran seperti itu? Kenapa dia
tidak menghargai ketulusan ku untuknya?
Kemudian
aku tuliskan sekilas perjuangan cinta ku untuknya dalam ‘Diary Lusuh Adinda’.
Beginilah sedikit isi dari tulisan itu...
Ku persembahkan dengan air mata
menjadikannya kisah dalam bentuk cerita...
Hanya kekuatan yang ku punya
yang dapat membuatku bertahan menghadapi kemelut kehidupan...
Maafkan aku yang tak pernah
membuat mu bahagia,
Maafkan aku yang tak mampu
membuatmu tersenyum,
Maafkan aku tak pernah bisa
menjadi seperti orang lain yang mengerti kamu...
Aku jauh dari mereka,
Aku takkan mampu menjadi
seperti mereka...
Aku hanya sebatas sampah,
Yang takkan menjadi suatu
berarti untuk siapapun...
Menangis dan airmata bukanlah
tanda kelemahan bagiku...
Tapi ia adalah cara untuk
sedikit membuat ku ‘bertahan’,
Selanjutnya Tuhan yang
menguatkanku...
Dengan tongkatNya aku mampu
berdiri lagi,
Dengan sayapNya aku dapat
melawan keputusasaan,
Dan dengan mahkotaNya, aku
merasa berharga...
Seandainya kamu mengerti secuil
tentang diriku agar kau tau dan aku bisa seperti mereka adanya. Hanya malam
yang mampu tunjukkan aku bisa beri ketulusan dari hati ku hanya untukmu...
Pernahkah kau terjaga dengan setitik arti adanya diriku yang terus mencoba
bertahan untukmu...
Aku bukanlah dia yang mungkin
mampu mengerti keadaan mu. Tapi aku punya cara untuk mencintaimu. Lebih dari
hanya memahami dan mengerti keadaan mu. Hanya saja cinta itu tak nampak, maka
dari itu dia tidak terlihat dan tak bisa dinilai. Cinta itu tidak berbicara
juga tidak menjawab, tapi dia membuktikan. Jangan menghakimi ku dengan tuduhan
yang belum banyak kau tau... Aku tidak pernah membandingkan kekasih ku dengan
orang lain. Karena tidak ada yang lebih baik untukku selain kamu. Dan harus
kamu tau, aku menderita hemophobia ! Bukan alasan untukku sebenarnya menghindari
ketakutanku saat dirumah sakit itu... Tapi aku tak bisa menguatkan diriku
sendiri, mungkin aku memang terlalu lemah. Aku tidak sehebat kamu yang masih
bisa tersenyum saat berbaring lemah. Aku memang tidak pernah ada disampingmu
ketika kamu membutuhkan aku, karena aku percaya kamu bisa tanpa aku karena kamu
Rendi yang kuat. Aku percaya kamu mampu berjuang sendiri melawan sakitmu,
karena kamu lelaki !
Mungkin ini saatnya aku melepas
kamu dan bukan berarti cinta ku untukmu terbakar dan hangus seperti debu. Cinta
ini tetap utuh untuk kamu. Aku tidak akan meminta kamu untuk melupakan aku. Aku
juga tidak meminta kamu untuk mencari pengganti ku yang lebih baik. Aku hanya
ingin mencintaimu dengan cara ku sendiri. Aku yakin ini cara terbaikku bersama
mu. Biarkan dihatiku tetap tertulis namamu, biarkan hatiku hidup bersama nama
mu...
Selamat
Malam
21
Juni 2009
Aku
terjaga dari lamunan ku. Tak terasa masa lalu ini membuat airmata ku menetes
perlahan. Wajahku basah dengan ribuan tetes airmata. Ku kecup foto dalam figura
itu dan ku peluk seakan aku bersama nya.
“Selamat
tinggal Rendi. Bahagialah bersama kebahagiaanmu”...