Kamis, 14 November 2013

PROSA



                Menyimpan Rindu


             Rindu... R-i-n-d-u
            Beberapa kali ku coba menelaah kata yang menyimpan miliaran rasa : suka cita atau siksa, madu atau racun, surga atau neraka, malaikat atau setan, entah definisi rindu itu tidak bisa terjamah dengan tegas. Rindu bagi seorang pujangga sendiri adalah objek yang menjadikan pena menari-nari diatas kertas, luas tanpa dibatasi langit, angkasa dan cakrawala sampai ia mencipta lima huruf menjadikannya murni satu ruang yakni R-I-N-D-U. Referensi mana yang mampu mendefinisikan rindu secara sempurna?
            Rindu itu artifisial !
            Rindu itu sel yang berkembangbiak tanpa bapak-ibunya.
            Rindu itu unsur yang berikatan dengan unsur lain dan menjadikannya senyawa.
            Rindu? Rindu itu... (hening – diam – tanpa jawaban)
            Rindu itu api yang menyala-nyala dalam tungku.
            Rindu itu malam yang disalib kekasihnya, pagi - begitu juga sebaliknya.
            Rindu itu kebodohan diam-diam.
            Rindu itu anjing !
            Rindu itu maling !
            Rindu itu atheis antara realis atau fantastis.
            Tidak ada rindu yang tidak sempurna, ia sempurna bagi pemiliknya untuk siapapun, tidak terkecuali kepada yang tidak sempurna. Rindu itu magis.
            Sudah lama aku simpulkan sajak-sajak rindu yang menggebu-gebu, hingga ia lusuh berdebu dalam tumpukan sabu-sabu. Namun ia tetap tinggal ditempat yang layak, leluasa, bebas, melompat, berlari, jatuh ataupun berdiri. Ia suka-duka paling sempurna.
            Rindu ku tidak pernah cukup, tidak pernah. Suatu pagi, ku coba simpan ia di langit. Cantik. Tapi langitpun mati. Ku simpan dalam laut, beribu sayang lautpun tak mampu menampung. Ku titipkan ia pada angin, namun tak sampai. Ku hembuskan lewat udara, ia hilang. Sampai pada ujung dimana rindu ini bertemu dengan rindunya dan menjadikannya titik api. Kecil, tapi membakar keduanya.
            ‘Hai’, serunya membuka suasana yang beku.
            ‘Hai juga’, jawabku sedikit gugup disusul pandangan liar kearahnya.
            Kami terbuai bisikan waktu, hanyut dalam konferensi meja rindu. Kau pun mungkin takkan punya daya ketika dihadapkan dengan energi yang kuat seperti ini. Inilah kekuatan magnet antara kutub utara dan selatan. Meluruh tak karuan. Meleleh cepat bagai api membakar lilin.
            ‘Kamu, tidak segemuk kemarin yang aku lihat di pasar senin’, katanya kemudian mencairkan suasana yang masih beku. ‘Mungkin karena kapan hari design baju kamu yang membuatnya tampak gemuk’ ia membuka awalan konferensi tanpa preposisi, tanpa prolog, basa-basi dan sejenisnya.
            ‘Mungkin begitu’, kataku malu.
            Dia mengerti apa tentangku dan perasaanku saat ini? Sungguh kacau balau. Ibarat gelas dituangkannya air panas kemudian ia tidak perlu lagi menunggu detik, menunggu potongan kata, menunggu hela nafas : pecah. Kami kembali diam. Melampiaskan perasaan dalam kerumunan bintang, jalan beraspal, roda-roda motor yang berputar cepat, sampai seluruh tubuhnya sudah ku telanjangi dengan mata belantara tanpa si tuan tapi tidak untuk bagian tubuh yang satu ini, mata.
            ‘Kamu sendiri kesini?’ alih-alih pertanyaan bodoh yang sudah terbaca jelas jawabannya. Seperti ini rasanya dibodohi diri sendiri dan manusia alien didepan ku yang sama sekali tidak ku mengerti perasaannya.
            ‘Seperti yang kamu lihat’, katanya dengan nada dingin.
            Ia sekarang terlihat aneh, lebih aneh dari alien yang saya tau. Raut wajahnya sedikit menginfeksi tentang apa yang ingin aku baca darinya. Tapi aku tetap tidak tau. Aku bukan filsuf panca indera yang mampu sekenanya membaca garis-garis khatulistiwa di setiap inci gerakan tubuhnya. Bahkan logika ku mati kalau bicara tentang kamu. Abstrak.
            ‘Kita disini saja? Kamu ngga gabung sama kita aja di dalam? Aku sudah pesan cappucino, ga enak kalau kelamaan. Adikku juga di dalam sendirian’
            ‘Biarin aja, adikmu sendirian’, katanya tidak peduli. ‘Aku masih pengen ngobrol sama kamu. Ga mungkin juga aku masuk. Penampilan ku berantakan gini. Kamu juga ga bilang kalau mau ke cafe, jadi aku sekedar mampir pengen ketemu kamu walau sebentar’.
            ‘Ya aku juga ga sengaja sih mampir kesini. Ini cafe baru soalnya, jadi penasaran sama menunya’.
            ‘Oh gitu’
            ‘Kamu memang niat dari rumah mampir kesini atau gimana?’
            ‘Tadi aku ke studio foto temen, biasalah numpang nongkrong aja disitu. Tiba-tiba dapat message dari kamu kalau kamu lagi di cafe ya aku samperin. Lagipula kangen banget sama kamu, udah lama kita ga ketemu ya’, dia balas  satu simpul senyum kecil.
            Tuhan, aku bisu sekarang. Aku bingung mengumpulkan kata-kata, kemudian menyaringnya agar apa yang akan didengarnya pantas.
            ‘Iya, lama sekali. sudah bertahun-tahun. Terakhir ketemu kamu, waktu aku berhenti dari dunia basket dan itu terkalkulasi 6 tahun. Lama juga ya?’ kita hanyut dalam kemesraan tawa.
            ‘Lumayan lama. Ya udah deh, gitu aja. Besok kalau kamu mau jalan sms aja. Aku temenin’
            ‘Iya. Makasih banget ya’
            Aku bak tersihir. Hilang ingatan, lumpuh, kelu. Rasanya dunia ini elastis, bagaimanapun kekuatan kita menarik dunia, ia akan kembali dalam bentuk seperti semula. Dengan alasan apapun kita terpisah ujung-ujungnya bertemu juga.

            Setelah pertemuan itu, tidak ada konferensi meja rindu kedua, ketiga dan seterusnya. Konferensi meja rindu itu untuk pertama dan terakhir, selanjutnya rindu ini kembali menjadi benih baru yang ditanam secara tabela. Semakin hari ia tumbuh, tumbuh tinggi dan besar seperti Jabon. Akarnya semakin dalam dan menyamping jauh dengan cepat. Kuat. Pertumbuhannya kilat setiap satu pikodetik. Aku dijajah rindu bangsat keparat, lagi !
            Aku pusing tujuh keliling. Habis sudah seluruh organ penting dalam diriku. Otak mengikis, hati rapuh, mata keriput, tua sudah aku. Tua juga rinduku. Namun ia tetap janda tanpa laki-laki yang meminang rindunya. Akankah gugur dan kembali menjadi benih yang terus-menerus tumbuh dari kecil sampai besar hingga banyak? Cukupkah petak satu hektar? Cukupkah airhujan menyiraminya? Cukupkah pupuk berton-ton menyuburkannya? Cukupkah waktu untuk memanennya? Tidak!
            Tiap hari rindu ini menyeragami tubuh. Ia melapisi bagian hati sampai tebal dan tak ada ruang untuk rindu-rindu yang lain. Rindu ini semakin hari makin liar. Ia tidak kenal musim, musim kemarau atau penghujan. Ia juga tidak kenal musim tanam tembakau, ia hanya kenal musim singkong kapanpun ditanam kapanpun dipanen. Rindu ini juga takkan binasa, tak jua bersuara, tak ada saksi mata ia hanya sekelumit aksara ha-na-ca-ra-ka membacanya pun dengan terbata-bata.
            Matanya meraup rupa wajahnya memenuhi seluruh pupil, mengisi tiap mili jangkau pandangnya. Menatap jemu tanpa jenuh tanpa jeda. Kemudian dilinangkannya airmata rindu yang disanjung-sanjung menjadi benalu tanpa inangnya. Ia begitu sangat lihai menggulung badai. Rindu itu tak bernama, tak bertubuh, tak rupawan, namun sederhana. Pemiliknya cuma satu, tapi tak seorangpun tau.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar