Kamis, 14 November 2013

DIBALIK JEMBATAN SURAMADU

DIBALIK  JEMBATAN SURAMADU

          Sejak empat jam yang lalu sudah ku persiapkan raga dengan rapih dan manis. Duduk melekat di jendela sebelah kanan bus. Mata telanjang antah berantah memergoki alam, kadang ia menjebakku dalam fantasi sampai aku mencipta suatu halusinasi. Entah berapa kali manusia di dekat ku menyaksikan aku yang barangkali dalam benaknya sudah dipikirnya sinting. Bukti konkrit kegilaan itu sudah tidak bisa di selipkan dalam saku baju, kantong celana, atau dompet diantara lembaran-lembaran rupiah. Bayangkan, empat jam lamanya kepala tidak mau beringsut dari posisi yang sama, arah yang sama, pandangan yang sama kecuali ketika berkesempatan nyuri waktu itupun hanya untuk sejenak kabur ke alam mimpi beberapa menit. Selanjutnya, bagian cerita yang sama mengalihkan pandangan ke arah seperti semula. Kanan.
          Sejak empat jam yang lalu headset dan lagu yang sama berangsur-angsur berpesta pora ditengah-tengah gendang telinga. Sebanyak lebih dari dua ratus lagu tapi entah kenapa lagu itu saja yang terasa gurih, renyah, bikin nagih.

When I look into your eyes,
I can see how much I love you,
And it makes me realize
When I look into your eyes,
We will always be together,
And our love will never die
When I look into your eyes,
I see all my dreams come true,
When I look into your eyes...

          Pikiran ku berlabuh sejenak tepat dipinggir kapal laut “Potre Koneng”, kenapa perjalanan empat jam kali ini terasa asing dari biasanya. Entah karena Firehouse yang mewakili kenyamanan atau laki-laki dibalik jembatan Suramadu sejak empat jam lalu mengintip disamping jendela bersama udara disebelah kanan. Aku tidak sedang bernegoisasi, jadi ku iya-kan saja tawaran kalimat diakhir barusan.
          Laki-laki itu memang sedang bersembunyi dibalik jembatan Suramadu. Ia adalah alasan kenapa aku mencipta seni rasa, pikiran, dan hati menjadi adonan black forest cake, sedang tampak luarnya saja hitam pekat – pahit tapi manisnya membuat menari-nari ditengah selat jawa sekalipun kau tenggelam rasa manis itu akan semakin menyatu, menyatu, menyatu lagi, kian kuat. Nikmat !
          Mutiara apa yang sedang ditembakkan seorang sniper kedalam karang? Bukankah harusnya ia menembakkan peluru? Kemana pelurunya? Pelurunya sudah berubah dikecepatan 0,001 meter per sekon menjadi mutiara. Sihir macam apa yang demikian hebatnya merubah peluru menjadi mutiara?
          Sejak empat jam yang lalu mata racun ini mempersiapkan segenap jiwa-raga lahir-batin menyaksikan tiang-tiang kokoh Suramadu berlalu. Disana, tepat ketika bus ini belok menjauh dari kota seberang halusinasi ku menjadi-jadi. Ia berontak, teriak meronta-ronta seperti maling kesurupan jaran kepang. Ia seperti sup berupa-rupa jenis sayurnya tapi tetap satu rasa. Ia seperti kelap-kelip warna-warni lampion tapi tetap satu sumber cahaya. Ia tak butuh pamrih, tak perlu pamit, tidak berlaku pula jabat tangan apalagi kecupan. Ia hanya perlu menyelinapkan rasa dalam amplop tentang salamnya yang manis semanis-manis madu teruntuk laki-laki dibalik jembatan Suramadu yang tak pernah ku tau warna bola matanya.


Untuk mahakarya yang tersembunyi dibalik huruf O*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar