DIBALIK JEMBATAN SURAMADU
Sejak empat jam yang lalu sudah ku persiapkan
raga dengan rapih dan manis. Duduk melekat di jendela sebelah kanan bus. Mata
telanjang antah berantah memergoki alam, kadang ia menjebakku dalam fantasi
sampai aku mencipta suatu halusinasi. Entah berapa kali manusia di dekat ku
menyaksikan aku yang barangkali dalam benaknya sudah dipikirnya sinting. Bukti konkrit
kegilaan itu sudah tidak bisa di selipkan dalam saku baju, kantong celana, atau
dompet diantara lembaran-lembaran rupiah. Bayangkan, empat jam lamanya kepala
tidak mau beringsut dari posisi yang sama, arah yang sama, pandangan yang sama
kecuali ketika berkesempatan nyuri waktu itupun hanya untuk sejenak kabur ke
alam mimpi beberapa menit. Selanjutnya, bagian cerita yang sama mengalihkan
pandangan ke arah seperti semula. Kanan.
Sejak empat jam yang lalu headset dan lagu yang sama
berangsur-angsur berpesta pora ditengah-tengah gendang telinga. Sebanyak lebih
dari dua ratus lagu tapi entah kenapa lagu itu saja yang terasa gurih, renyah,
bikin nagih.
When I look into
your eyes,
I can see how
much I love you,
And it makes me
realize
When I look into
your eyes,
We will always
be together,
And our love
will never die
When I look into
your eyes,
I see all my
dreams come true,
When I look into
your eyes...
Pikiran ku berlabuh sejenak tepat dipinggir
kapal laut “Potre Koneng”, kenapa perjalanan empat jam kali ini terasa asing
dari biasanya. Entah karena Firehouse
yang mewakili kenyamanan atau laki-laki dibalik jembatan Suramadu sejak empat
jam lalu mengintip disamping jendela bersama udara disebelah kanan. Aku tidak
sedang bernegoisasi, jadi ku iya-kan saja tawaran kalimat diakhir barusan.
Laki-laki itu memang sedang
bersembunyi dibalik jembatan Suramadu. Ia adalah alasan kenapa aku mencipta
seni rasa, pikiran, dan hati menjadi adonan black forest cake, sedang tampak luarnya saja hitam pekat – pahit tapi manisnya
membuat menari-nari ditengah selat jawa sekalipun kau tenggelam rasa manis itu
akan semakin menyatu, menyatu, menyatu lagi, kian kuat. Nikmat !
Mutiara apa yang sedang ditembakkan
seorang sniper kedalam karang? Bukankah harusnya ia menembakkan peluru? Kemana
pelurunya? Pelurunya sudah berubah dikecepatan 0,001 meter per sekon menjadi
mutiara. Sihir macam apa yang demikian hebatnya merubah peluru menjadi mutiara?
Sejak empat jam yang lalu mata racun ini
mempersiapkan segenap jiwa-raga lahir-batin menyaksikan tiang-tiang kokoh
Suramadu berlalu. Disana, tepat ketika bus ini belok menjauh dari kota seberang
halusinasi ku menjadi-jadi. Ia berontak, teriak meronta-ronta seperti maling kesurupan
jaran kepang. Ia seperti sup berupa-rupa jenis sayurnya tapi tetap satu rasa. Ia
seperti kelap-kelip warna-warni lampion tapi tetap satu sumber cahaya. Ia tak
butuh pamrih, tak perlu pamit, tidak berlaku pula jabat tangan apalagi kecupan.
Ia hanya perlu menyelinapkan rasa dalam amplop tentang salamnya yang manis semanis-manis
madu teruntuk laki-laki dibalik jembatan Suramadu yang tak pernah ku tau warna
bola matanya.
Untuk mahakarya
yang tersembunyi dibalik huruf O*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar