Minggu, 14 April 2013

DIA ABANG KU (He is My Brother)



DIA ABANG KU (HE’S MY BROTHER)
A Story by : Acclivity Noveltine Libertyca

LAMPUNG,
“Diaz...!” panggil mama dari halaman depan rumah.
Pagi ini matahari bersahabat diantara cakrawala dan angkasa yang ramah. Ku duduk dibawahnya berlindung atap sambil menikmati teh hangat. Nikmatnya pagi ini mulai menggoda. Bibirku beradu dengan gelas dan teh mulai ku seduh perlahan, aroma dan manisnya menusuk sampai ke jiwa. Inilah pagi ku kali ini. Bersantai sejenak ditengah keluarga yang sibuk. Menikmati pemandangan yang luar biasa, indahnya tak dapat terlukis. Bunga melati menebar aroma wangi disekeliling rumah ku, mawar dengan warna yang cantik membuat ku terpesona, euforbia yang anggun, anggrek yang merambat begitu megahnya. Kesemuanya itu hanya bisa ku nikmati disini, taman surga ku. Rumahku adalah surga ku, bukankah begitu?

Diaz, dia abang ku. Abang yang selalu aku banggakan. Dia abang yang cerdas, luar biasa. Abang yang selalu aku puji. Karena memang dimata ku dia adalah abang yang special. Bagaimana tidak? Dialah harta berharga ku sepanjang hidup. Dia satu-satunya saudara kandung yang ku punya. Selebihnya, aku memiliki ibu yang biasa ku panggil dengan Mama dan seorang laki-laki terhebat sepanjang sejarah hidup ku, Papa. Mama adalah perempuan yang paling berjasa dalam hidupku. Apapun dia korban kan demi aku dan tidak hanya aku tetapi juga demi keluarga. Misalnya nih, setiap hari mama harus berkorban mengurangi jatah tidurnya selama 8 jam menjadi 6 jam. Yah, bagaimanapun mama adalah satu-satunya orang pertama dikeluarga kami yang bangunnya paling awal. Applause buat mama deh, hehehe. Setelah bangun pagi, mama harus membuat satu menu sarapan pagi untuk keluarga. Bayangkan, kalau salah satu diantara kami ada yang ngga doyan dengan menu tersebut, mama pasti harus berjuang membuatkan menu yang lain. Selain berjasa dalam membuat menu masakan, mama juga berjasa dalam membersihkan rumah dan se-isinya. Ya mau bagaimana lagi, semua anak mama laki-laki. Jadi bisanya cuma bikin kotor rumah saja, maaf ya ma? Hehehe. Pokoknya apapun tentang mama, beliau adalah inspirasi terbesar dalam hidupku. Nah, lain halnya dengan Papa. Pria tampan satu ini hobby-nya menyebarkan asap dimana dia singgah, kalau nama kerennya sih ‘smooking’. Ngomong-ngomong tentang Papa, dia adalah pahlawan bagi hidup kami. Kami dulu berasal dari keluarga yang... Gimana yah ngomongnya, jadi ngga enak. Katakanlah sedikit sulit. Pekerjaan Papa dulu tidak menjanjikan seperti sekarang. Papa dulu bekerja sebagai pencari batu kali atau mencari rumput laut yang kemudian dijual dengan harga seadanya. Jadi untuk makan saja kami kekurangan. Kemudian saudara Papa yang berbaik hati memberikan beberapa hektar tambaknya untuk dikelola oleh Papa. Akhirnya Papa punya pekerjaan yang hasilnya juga menjajnjikan. Yah, sampai sekarang hidup kami membaik daripada sebelumnya.  Aku dan abang bisa kuliah diperantauan. Memang benar kata pepatah, roda kehidupan itu terus berputar. Dan aku percaya, karena aku mengalaminya.

“Bang, dipanggil Mama. Cepatlah sedikit”, ujarku.
“Iya, bentar”, jawab abang dari arah ruang tamu menuju halaman depan.
“Abang, bantu mama siram bunga-bunga ini”, tambah mama.
“Ya ma”, sahut abang.

Hentakan kakinya mulai terdengar berjalan mendekatiku yang sedang duduk di halaman depan taman. Kemudian abang Diaz menjitak kepalaku begitu saja. Mungkin dia kesal, aku duduk bersantai menikmati teh dan hanya melihat mama yang sedang sibuk menyiram bunga. Anehnya, mama tidak menyuruhku untuk membantu menyiram bunga-bunganya. Entahlah, mungkin abang merasa aku terlalu dimanja dan diperlakukan ngga adil. Karena aku ngga terima dijitak begitu saja tanpa sebab, akhirnya aku mengintai dari belakang saat abang sedang asyik menyiram bunga. Bodohnya aku, ketika jitakan sedang beraksi mengenai kepalanya, abang kaget. Akhirnya selang yang bercucur air itu dia semprotkan ke arahku. Aku tak terima karena bajuku sedikit basah. Ku ambil paksa selang itu dari tangan abang dan hasilnya terjadilah perang siram-menyiram. Basah lah tubuh aku, abang pun juga basah. Aku tertawa, abangpun tertawa menyadari umur kita yang sudah berkepala dua (20 tahunan) tapi masih bertingkah seperti balita.

oooOooo
Surabaya,
Selamat tinggal Lampung, selamat datang Surabaya. Selamat tinggal hari libur, selamat datang kuliah. Selamat bertemu kembali tugas-tugas yang sudah setia menanti kedatangan ku. Jujur saja aku sangat senang hari libur usai. Inilah hari yang paling aku tunggu-tunggu. Entah kenapa aku lebih senang hidup mandiri, tinggal di kosan dengan kamar berukuran 3x3 m, makan di warung seadanya bersama teman-teman, nongkrong, jogging pagi di sekitar kampus, entahlah mungkin karena aku laki-laki. Yah, aku laki-laki dan rasanya hidup jauh dari orangtua tidak terlalu membebaniku. Rasa rindu terhadap keluarga terutama orangtua pasti ada, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Yang ada di benakku saat ini aku harus segera lulus dan keluar dari kota yang memuakkan ku dengan tugas-tugas. Lalu melamar pekerjaan. Mimpi yang wajib terwujud secepatnya !
Bima ! Itulah nama paling beken seantero desa ku, hahahaaa. Ngga aneh kalau banyak wanita yang saling berebut mencuri perhatianku. Bagaimana tidak? Wajahku memang ditakdirkan paling ganteng se-keluarga. Ngga percaya? Tanya deh Mama ku atau Papa ku, hehehe. Tapi memang begitulah kenyataannya. Sayangnya, belum terpikir jauh oleh  ku kearah yang biasanya populer dengan sebutan ‘pacaran’ itu. Biarkanlah aku ini dianggap aneh, tapi memang belum waktunya aku memikirkan hal itu. Ehm...
oooOooo

Sore ini langit nampak kelabu. Kelam. Matahari mulai malu, dia sembunyi dibalik awan. Perutku rasanya sedang mengadakan demo secara besar-besaran. Laperrr...
Gerimis mulai turun. Halaman tempat tinggal kosan ku mulai dibasahi oleh rintiknya. Perut ku semakin brutal saja. Rupanya memang harus makan, biar pada bungkam mulut cacing-cacing dalam perut ini. Huhhh... Dalam keadaan seperti ini perut merepotkan saja.
“Bang, pinjam motor lah”, kata ku kemudian mendekati abang Diaz yang sedang mengeringkan motornya.
“Mau kemana?”, tanyanya.
“Cari makan bang, di warung depan”
“Ini motor baru abang cuci Bim. Sayang kalau nanti kotor lagi. Jalan sajalah. Jangan belajar manja”
“Tapi ini gerimis bang”
“Ya apalagi gerimis, kamu tau itu. Nanti motor abang kotor kena cipratan air jorok. Sudahlah, jalan saja”
“Ya sudahlah bang. Abang ngga titip makan?”
“Ngga!”
Tadinya aku fikir abang akan berbaik hati meminjamkan motor karena kondisi diluar kosan ngga memungkinkan. Tapi, ya ngga papalah. Jalan kaki juga sehat.
“Bang”, panggilku sambil mengetok pintu.
Baju yang aku pakai sudah basah kuyup kena rintik hujan sepanjang jalan. Aku menggigil sambil membawa bungkusan makanan ditangan ku.
“Bang, buka pintu bang. Aku kedinginan”, kataku sekali lagi.
“Apa sih Bim? Abang ngantuk. Ganggu orang tidur” kata abang sambil membukakan pintu.
“Ya mana tau bang, habisnya abang udah tau aku lagi cari makan. Pakai kunci pintu segala”
“Emang kamu mau ada maling masuk sementara abang tidur?”
“Ya, ngga juga bang”
“Ya udah”
Mengalah disaat kondisi abang sedang mengantuk begitu, memang saran yang paling dianjurkan. Daripada cari masalah. Ini tempat perantauan, aku cuma ngga mau dianggap anak kecil yang maunya selalu menang. Ah, pikiran macam apa itu. Aku sudah mahasiswa. Aku tau bagaimana menyikapi abang ku ini. Bertahun-tahun aku mengenalnya. Dia memang berwatak keras.
Malam ini aku ada janji sama teman-teman kampus. Biasalah, kerjaan anak laki-laki. Nongkrong alias kongkow-kongkow. Kebetulan besok jadwal kuliah ku kosong. Canda tawa, serius, ah semua itu kami lewati.
“Bim, aku punya teman. Cewek Bim. Cantik. Aku kenalkan kamu ya?” kata Septa kemudian.
“Sudahlah, urus saja dirimu sendiri. Ngga usah terlalu pusing pikirkan urusan aku”
“Iya Bim. Aku pikir-pikr kamu ini masih sendiri saja. Kenapa lah boy? Cewek cantik banyak kejar-kejar kamu. Kamu buang gitu aja. Kamu sudah punya pacar di Lampung sana boy?” sambung Tio.
“Hahaha... Ngaku Bim”, tambah Reno.
“Sudahlah, ngga usah bahas masalah ini. Aku ngga suka” jawabku.
“Kamu itu cakep Bim. Aku sebagai laki-laki memandang kamu laki-laki yang tampan. Tapi kenapa kamu masih jomblo juga? Hah?” imbuh Septa.
“Sudahlah. Cukup... Hal yang perlu dibicarakan masih banyak” jawabku ketus.
Rupanya mereka sadar kalau aku terlihat agak ngga suka dengan apa yang mereka bahas. Mereka mengerti dan mengalihkannya ke topik pembicaraan yang lain. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB.
“Boy, aku balik dulu. Angin malam ngga baik buat kesehatan. Cabut dulu ya” ucapku singkat.
Sesampainya di tempat kost...
Pintu terkunci !
“Bang...” kataku sambil menggedor pintu.
Tak ada jawaban...
“Bang... Tidur bang?”
Tak ada jawaban...
“Abang...”
“Ya...” suara abang terdengar lemah.
“Tidur bang?”
“Bim. Kamu tau ini jam berapa? Ini udah malam. Heran ya, keluyuran aja hobby-nya. Abang sudah tidur. Kamu ngga tau diri. Pulang seenaknya. Punya otak ngga kamu?” bentak bang Diaz.
Sekali lagi, aku harus diam. Ku lewati saja abang Diaz begitu saja dan segera masuk kamar. Aku ini sudah dewasa bang. Aku bukan anak kecil. Jangan samakan aku layaknya anak kecil yang bisa tersesat saat keluar rumah, ngga tau arah kembali. Aku tau ini jam 11 malam. Tapi aku ngga pernah membentak abang ketika abang pulang jam 2 malam. Karena aku tau, aku percaya abang bisa tanggung jawab terhadap diri abang. Tapi kenapa abang ngga percaya bahwa aku bisa tanggung jawab terhadap diriku sendiri? Abang, kamulah abang saudara ku. Sebagai adikmu, aku menghormati mu dan menyayangi mu.
Hari sudah berganti. Pagi menyambut ku dengan hangat. Aku menggeliat. Segera aku pergi mencuci wajahku yang kusut ke kamar mandi.
“Bang, mau kuliah?” tanya ku yang kebetulan berapapasan dengan bang Diaz.
“Seperti yang kamu lihat”
“Aku pinjam kamarmu bang. Numpang online lewat laptopmu”
“Boleh. Pakai saja kamarku”
“Oke”
Wajahku sudah segar. Waktunya duduk depan laptop dan online seharian. Ada benda asing yang tersentuh rupanya oleh telapak tangan ku.
“Apa ini? Sepertinya ngga asing buat aku”
Aku memutar-mutar benda berwarna putih berbentuk serbuk halus.
“Rasanya aku pernah tau benda ini. Dalam gambar. Apa mungkin ini semacam narkotika?”
“Siapa yang menggunakannya?”
”Abang?”
“Mana mungkin?”
Aku seolah tak percaya ada benda asing disitu. Dikamar abang. Botol-botol minuman berserakan di dekat kasur yang terhimpit, nyaris tak terlihat.
“Ngga mungkin abang melakukan ini...”
“Eh, apa yang kamu lihat Bim?” suara abang mengejutkanku.
“Sudah pulang bang?” tanya ku belepotan.
“Ngga ada dosen. Ganti besok. Apa yang kamu lihat?”
“Ini bang” tanganku menjulurkan benda serbuk putih itu.
“Itu apa bang?” tanya ku kemudian.
“Ini, cuma...” abang terlihat bingung menjawabnya.
“Narkotik?” sambung ku.
“Ngg...Ngg, Ngga. Bukan”
“Lantas?”
“Ng...Ng...Ngga apa-apa”
“Bang, aku sudah kenal abang bertahun-tahun. Aku sudah berusaha sampai detik ini menghargai abang. Menghormati abang. Abang saudara ku satu-satunya yang aku punya. Abang berharga buat aku ! Aku rela bang, aku rela abang menjelek-jelekkan aku di depan Papa. Aku rela bang nama baik aku buruk di hadapan keluarga. Abang bilang aku jarang kuliah, pemalas, menghambur-hamburkan uang, sebagainya. Aku rela abang laporkan itu semua sama Papa. Papa marah habis-habisan, papa hampir saja memutuskan kuliahku. Aku rela bang. Aku rela, kalau semua itu yang abang mau. Aku rela sebagian jatah uang bulanan ku abang potong. Aku rela bang. Apapun demi abang, aku serahkan. Jangankan uang bang, nama baik abang di depan Papa slalu aku jaga. Dimata keluarga abang adalah kakak yang baik. Sejak lama aku curiga dengan benda itu bang, dengan botol-botol itu. Tapi aku diam, aku lindungi abang di depan keluarga. Karena aku percaya abang masih mampu berfikir, mana yang baik untuk abang dan mana yang ngga ! Inikah bang, cara abang membalas semua yang selama ini aku berikan? Aku sayang abang, aku ngga mau terjadi sesuatu sama abang. Dan abang harus tau, selama ini aku tidak pernah melawan apa yang abang lakukan terhadapku. Kalau aku melawan bang, aku bukan seorang laki-laki dewasa ! Dan aku ngga akan pernah rela kalau sesuatu yang buruk harus terjadi pada abang. Aku yang bertanggung jawab atas abang di tempat perantauan ini. Hanya ada kita bang”.
Bang Diaz hanya tertunduk. Mungkin dia malu. Atau merasa sangat bersalah.
“Buang semua benda busuk itu bang, jangan biarkan aku kehilangan abang yang sangat berharga untukku”
Diaz kemudian memelukku. Dia menangis.
“Maaf Bim”
“Sudahlah bang. Ngga perlu ditangisi. Ngga ada yang harus disesalkan. Mulai sekarang lakukanlah hal yang lebih baik untuk dirimu sendiri”
“Bima... Kamu harta abang yang paling istimewa”
Begitulah kehidupan. Kehidupan takkan lepas dari cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang tak terlihat dan tak dapat dinilai karena letaknya jauh didalam hati. Maka selama kamu mampu menyayangi apa yang kamu miliki, lakukanlah tanpa menundanya !
oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar