Minggu, 14 April 2013

KERTAS USANG



By : nonn Berty
biarkan mereka menilai kita dengan tinta merah
biarkan mereka memandang kita dengan kaca mata kirinya,
seburuk apapun nilai kita dimata mereka dengan itulah aku akan menulis namaku untuk dunia,

sehingga kalian akan lebih mengenal ku,


Pagi masih dalam lamunannya, memikirkan apa yang akan dia berikan kepada dunia untuk hari ini. Kibaran angin melambaikan tangan seolah ia berdiri dengan tegaknya diatas tanduk Himalaya. Ranting-ranting mematahkan awak tulangnya, pergi tak beraturan menghadap himpitan para aspal yang beradu. Dedaunan kuning selanjutnya merayap-rayap mencari arah yang tidak pernah bertemu dengan lorongnya. Apa yang sedang dipikirkan nya? Tidak ada yang pernah tahu. Tiba-tiba mereka melangkah di suatu tempat yang asing dan terpisah dari gerombolan kawannya. Salah satu diantara mereka ada yang kembali pada habitatnya, kemudian yang lain pergi memasuki halaman gubuk orang yang tak pernah dikenal. Siapa yang peduli ketika angin tidak lagi mengajaknya pergi? Ia diinjak dan tidak pernah ada yang merasa bahwa ia ada dan sebenarnya masih hidup.
*
Aku manusia yang tidak tahu cara berterima kasih kepadaMu Tuhan. Lantas Engkau masih mendekapku. Engkau menjadikan aku sesosok makhluk dengan tubuh sempurna dan hidup dalam keindahan. Tapi aku tidak bisa merasakan keindahan itu. Aku lah manusia sempurna yang terjebak dalam keburukan. Aku berkata pada langit, adakah keindahan dalam diriku? Adakah nilai baik untuk diriku? Aku tidak sebaik apa yang mereka pandang. Katakanlah jujur untukku, wahai langit. Katakanlah aku buruk, pelangi ku. Biarkan aku tetap setia pada malam. Berikan aku sedikit cahayamu mentari, agar aku bisa melihat diriku lebih dalam. Aku ada.
Tuhan masih memelukku. Kepada pagi, terima kasih telah memberi senandung lagu dari suara emas seekor Prinia familiaris olivaces. Tidak dapat ku pungkiri suara merdunya jatuh menuju jiwa dan membunuh mimpi yang kemudian mati ditelan berkas lampu mentari. Disusul irama ranting yang hendak pergi dari induknya, dia membiarkan dirinya begitu saja terjatuh dan menikmati embun bersama sarang rerumputan.
“Kartika, sudah bangun nak?”
Aku membuka pintu dan segera menuju datangnya suara yang memanggil namaku.
“Ayah, sudah siap pergi ke kantor?”
“Iya. Kamu sudah siap pergi ke kampus?”
“Kartika berangkat sendiri ya Yah?”
Ayah terdiam. Kemudian beliau mengangkat wajahnya.
“Ya sudah, Ayah berangkat dulu. Kamu hati-hati bawa motornya ya”
“Oke bos”, aku tersenyum untuk Ayah.
Inilah hidupku. Ayah adalah kawan terbaik sepanjang masa. Bagi setiap orang mungkin ibu adalah harta teristimewa, namun bagi ku ayah adalah harta itu. Mungkin aku tidak seberuntung mereka yang masih bisa berbagi hidup dengan ibu. Ibu pergi meninggalkan aku dan ayah lebih dulu menghadap Tuhan sejak aku berumur 5 tahun. Ibu meninggal karena penyakit jantung. Namun, kepergian ibu bukan berarti ayah kehilangan kesetiaannya pada ibu. Sampai saat ini ayah masih sendiri dan aku teman terhebatnya. Ayah, aku sayang ayah.
“Ayah, hati-hati di jalan ya” Aku melambaikan tangan untuknya.
*
Rambut hitam pendek, kaos hitam bertuliskan ‘My Style’ dan kemeja kotak-kotak hitam putih menutupi kaos hitam bertuliskan ‘My Style’, dengan kancing dibiarkan terbuka, celana jeans pensil hitam dan sepatu kickers boot hitam menempel di tubuh gadis bernama Kartika. Motor Byson drag hitam siap membawanya menuju kampus. Tidak ada alasan lain kenapa penampilan ku jadi seperti ini. Padahal dulu aku adalah gadis kecil yang lucu. Mungkin ayah berharap kelak aku akan menjadi gadis yang cantik dan berkepribadian wanita seutuhnya. Tapi kenyataannya aku sekarang menjadi wanita dengan penampilan laki-laki. Entah karena mungkin dari kecil ayah yang mendidikku. Penampilan mungkin bisa dibilang ‘sangar’, tapi aku adalah seorang introvert. Bisa dibayangkan, dikampus dengan teman yang sangat terbatas. Kebanyakan teman ku adalah laki-laki. Teman perempuan ku hanya beberapa saja. Tidak banyak, lagipula aku jarang bergaul dengan mereka. Alasannya cukup logis, karena aku tidak suka ‘menggossip’, dan kebanyakan dari mereka adalah penggosip.
“Ka, ga ada kuliah jam ini”
Aku yang sedang asyik duduk di Pujasera kampus sambil membaca novel Teror karya Lexie Xu terkejut dengan suara yang tiba-tiba saja datang.
“Ah, kamu Yo bikin kaget aja”
“Ya abisnya kamu serius banget sih bacanya, bukan salah aku dong kamu jadi kaget. Baca apaan sih?”
“Gimana ga serius? Ini novel Yo, isinya serem. Judulnya aja Teror. Tegang nih baca yang beginian”
“Pagi-pagi baca horor mana serem Ka?”
“Itu sih menurut kamu. Menurut aku kapanpun waktunya kalau fokus sama apa yang dibaca pasti kebawa”
“Kamu aja yang terlalu menghayati”
“Ya juga sih Yo. Eh, ngomong-ngomong beneran ga ada kuliah jam ini?”
“Ga ada Ka. Pulang yuk”
“Pulang aja sendiri, aku masih mau disini Yo”
“Ya udah, aku pulang dulu. Ntar sore jogging. Mau gak? Aku yang jemput”
“Oke deh Yo”
Deriyo, itu salah satu temen sekelas ku. Deriyo ini salah satu teman laki-laki gokil dikelas. Dia pinter, lebih tepatnya genius. Banyak sih cewek-cewek kampus yang kecantol sama penampilannya. Keren, katanya sih. Tingginya 180 cm, kulitnya putih, korean style banget. Wajar sih cewek-cewek pada ngefans berat sama dia.
Hal paling menyenangkan yang ga bisa punah dari kehidupanku adalah facebook dan twitter. Semua yang ada dipikiran ku dan ingin aku tulis, aku tulis disana. Dan aku asyik dengan dunia maya tersebut. Aku ga keberatan tidak punya banyak teman di dunia nyata. Tapi aku merasa cukup punya banyak teman di dunia maya ini. Aku merasa aku ada di dunia itu.
“Hey Ka, lagi apa kog belum pulang? Ga ada kuliah jam ini”
“Eh, Risa. Ini lagi online. Lumayanlah, wifi gratis. Kamu sendiri belum pulang?”
“Belum. Ka, siapa itu di facebook?”
“Oh, ini teman Ris”
“Teman kamu?”
“Iya, teman SMA”
“Kamu suka dia? Kog dipandangin terus sih? Apa dia suka kamu ya?”
“Hah? Ngga kog”
“Kog dia mau ya sama kamu?” Risa menatap ke arahku, kemudian tersenyum.
“Eh, aku bercanda kog” katanya kemudian disusul senyum sinis.
“Aku pulang dulu Ris” jawab ku dengan nada ga enak.
Segera ku letakkan tas dipundak. Kemudian aku pergi dengan langkah seribu meninggalkan Risa sendiri.
Aku tahu, aku tidak ditakdirkan untuk menjadi wanita cantik yang pantas dapat pria istimewa. Aku sadar bahwasanya banyak kekurangan pada diriku. Aku telah menyadarinya sebelum mereka menilai keburukan ku mendahului aku. Memang aku jelek, kulitku hitam, badan ku tidak ideal dengan tinggi 160 cm dan berat badan 58 kg. Siapa yang lantas memandang ku? Tidak satupun, kecuali Ayah.
“Ayah...” Aku melempar tas ke sofa dan duduk di samping ayah yang sedang asyik membaca koran.
“Sudah pulang ya Yah?”
“Seperti yang kamu lihat nak” Ayah melipat koran dan meletakkan nya di meja. Aku merebahkan kepala di dada ayah. Hangat. Rasanya aku ingin mengungkapkan hal yang membuat dada ku sesak. Ayah mengusap kepala ku. Membelai rambutku dengan lembut. Sentuhannya selembut belaian ibu.
“Ayah, apa aku jelek ya Yah?”
“Siapa yang berani bilang begitu sayang?”
“Ayah, nilai aku sejujurnya. Ayah tidak usah memandang aku sebagai anak Ayah ketika aku bertanya hal ini. Katakanlah seolah-olah Ayah sedang ditanya oleh orang yang tidak pernah Ayah kenal”
“Sayang, percayalah Ayah tidak akan mengatakan hal yang tidak sebenarnya sekalipun pada orang yang sudah lama Ayah kenal. Ayah selalu kagum pada ciptaan Tuhan. Ayah tidak bisa membalas apa yang sudah Tuhan berikan pada Ayah, kamu terlalu berharga untuk Ayah. Bukan sekedar nilai keindahan dalam diri kamu. Apapun itu, dimata Ayah kamu adalah permata Ayah”
Airmata ku tidak terasa menetes dipangkuan Ayah. Aku percaya Ayah sudah jujur menilaiku. Tidak hanya padaku, dia jujur menilai ku kepada Tuhan. Aku semakin sadar, kekurangan ku tetap akan menjadi kekurangan. Tapi bagi Ayah, kekurangan bahkan kelebihan yang ada pada diriku adalah berharga. Aku kebanggaan Ayah. Aku percaya, dengan kekurangan ku ini aku akan dikenal dunia.
*
Sore yang cukup menawan. Deriyo memenuhi janjinya. Dia pergi mengajakku jogging sore ini. Kembali ke kehidupan yang penuh kejutan. Aku lebih siap menghadapi caci maki dunia. Tertawalah kepadaku dengan keras, supaya aku semakin mengerti sakitnya dunia mengiris impianku.
“Yo, makasih ya kamu udah mau jadi temen aku”
“Hah? Kamu PD banget. Aku mau jadi teman kamu karena ada maunya kog”
“Hah? Emang apa yang kamu mau dari aku Yo?”
“Copy paste laporan praktikum saat kuliah, tugas-tugas kuliah...”
“Hahahaaa...” Aku tertawa begitu mendengar jawaban konyol seperti itu.
“Tapi memang gitu adanya Ka”
“Iya, aku juga Yo. Tanpa kamu, aku ngga bisa presentasi dengan baik didepan kelas. Aku ga bisa menjawab pertanyaan dari teman-teman dengan baik”
Deriyo tersenyum manis dan kami melanjutkan aktivitas kami. Kami sudah memutari tiga kali lapangan stadion kampus. Keringat menembus kaos ku. Nafas ku sudah tersenggal-senggal. Sore semakin lenyap.
“Pulang yuk Yo”
“Mau pulang? Ayo, cabut”
*
Malam ini aku duduk di samping jendela kamar sambil menatap foto seseorang di dalam layar notebook ku. Namanya Anton. Saat ini dia sedang menjalani pendidikan di Kawah Candra Dimuka Surabaya. Dia seorang ksatria Angkatan Laut. Calon pemimpin negara. Dia teman SMA ku dulu. Facebook dia yang tadi siang ku lihat. Seminggu yang lalu aku sempat ditembaknya melalui telepon. Dia mengungkapkan perasaannya setelah 2 tahun tidak ada kabar. Dia bilang bahwa dia sudah lama menyimpan perasaan cinta untukku. Sejak kelas 3 SMA dia mulai merasakan perasaan itu. Tapi dia tidak punya nyali untuk mengungkapkannya. Alasannya, dulu dia tidak punya jati diri. Sekarang dia berani mengungkapkan itu padaku karena dia percaya dia sudah menemukan jati dirinya, menjadi seorang ksatria. Aku belum memberi jawaban padanya. Aku bingung dengan pernyataannya, aku belum percaya. Aku ini siapa? Aku tidak punya apa-apa untuk patut ku banggakan. Aku ini buruk, tidak layak menjadi pasangan hidup kamu. Masih banyak wanita cantik disana yang lebih pantas mengisi ruang kosong jari-jemari tangan mu. Kamu calon pemimpin negara. Banyak wanita yang kagum padamu. Pasti ada yang lebih baik dariku untuk kamu. Lantas kemudian dia mempertegas kalimat ku yang merendah.
Kalau kamu merasa kita berbeda, kita tidak akan pernah dekat. Kita akan sama-sama menjauh dan tidak akan pernah bertemu. Apapun yang akan kamu katakan untukku, aku terima. Aku akan memberi waktu untuk kamu menjawabnya, jangan menjadikan ini beban untuk kamu. Satu lagi, jangan pernah membandingkan dirimu sendiri dengan orang lain. Aku tidak suka mendengarnya.
Kemudian telepon itu tertutup dengan pesan terakhir darinya :
“Jaga hati dan diri disana baik-baik ya”
Sampai saat ini aku bingung. Jawaban apa yang akan ku beri. Tuhan, kenapa dia harus datang padaku dan membuat aku menjadi bingung. Ada kertas kosong di samping mejaku. Ku pandangi ia yang masih putih, bersih tanpa coretan sedikitpun di dalamnya. Kemudian ku tulis kata demi kata disana.

“Selembar kertas ini akan menjadi kertas usang suatu saat nanti... Dan aku akan kembali menemukan mu disaat aku sudah menulis nama ku untuk dunia... Saat aku membaca mu kembali, aku akan tersenyum...”
*
Dua minggu telah berlalu, Anton menelpon ku tepat pukul 2 siang.
“Apa kabar Ka?” Dia mulai basa-basi.
“Baik. Kamu gimana?”
“Baik juga”
“Gimana jawaban itu Ka? Kamu sudah pikirkan?”
“Belum Ton”
“Tapi aku sudah kasih waktu 2 minggu buat kamu Ka, apa itu belum cukup?”
“Aku ngga tau harus jawab apa Ton?”
“Katakan apapun Ka, aku akan siap menerima nya”
“Ton, kenapa kamu tidak pernah berfikir bagaimana menjadi aku. Aku takut dinilai orang, karena sebuah pangkat aku mau menjadi kekasihmu. Aku tidak cantik Ton. Kamu berfikirlah lagi. Aku memberi kesempatan untuk menarik pernyataanmu bahwa kamu suka aku”
“Ka, kenapa kamu harus mengikuti kata orang? Biarkan mereka berkata apapun tentang kamu, tentang aku. Yang penting kita”
“Tapi aku belum menemukan jati diri ku Ton. Aku ingin dunia mengenalku dulu, seperti dunia  telah mengenalmu. Beri aku waktu sedikit lagi”
“Ka, sampai kapanpun aku akan menunggu”
*
Mereka menilai ku hanya dengan tinta merah...
Mereka tidak pernah menilai ku dengan tinta hitam...
Bahkan mereka hanya menatapku dengan kaca mata kiri,
Kemudian waktu menyulam diri ku satu demi satu menjadi utuh,
Kini aku berarti,
Bukan untuk diriku sendiri,
Tapi untuk dunia...
Aku adalah kertas kosong,
Tapi dengan kekuranganku,
Pena ini menyala diatasnya...
Salahkah kemudian ketika dunia mengenalku?
Itulah rangkaian puisi sebagai kalimat penutup akhir novel karya ku. Caci maki dunia ternyata mengharumkan nama ku lewat tinta-tinta emas. Novel pertama ku dengan judul “Kertas Usang” menjadi novel best seller.
“Tuhan, terima kasih”
Telepon ku kembali berdering. Anton calling.
“Ka, aku dengar kamu jadi penulis? Karya kamu sedang banyak dibincangkan”
“Iya. Sampai ke telinga kamu juga ya kabarnya”
“Dunia akhirnya mengenalmu”
“Iya”
“Kamu mau jadi pacar ku sekarang?”
“Emmmhhh... Iya mau”
“Bener ini?”
“Iyaaaaaaaa”
*
Akhirnya, teka-teki bisa ku jawab walaupun dengan waktu yang tidak singkat. Akhirnya juga, dunia bisa ku taklukkan. Hemh, rasanya dunia dan aku adalah sahabat baik. Siapa bilang dunia itu kejam?
“Apa ini?” Aku menemukan kertas yang sudah teremas didalam lemari buku ku. Aku buka perlahan, kemudian disana ada tulisan :
“Selembar kertas ini akan menjadi kertas usang suatu saat nanti... Dan aku akan kembali menemukan mu disaat aku sudah menulis nama ku untuk dunia... Saat aku membaca mu kembali, aku akan tersenyum...”
Kemudian aku tersenyum bangga pada diriku sendiri, seperti janjiku pada kertas usang ini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar