GADIS
STEVANIE
a story by : Acclivity Noveltine
Libertyca
Gadis Steviana, Gadis ! Itu nama ku. Dan ini
Gladish Stevanie, Steva. Itu kakak perempuan ku. Kami berdua adalah saudara
kandung, lebih tepatnya saudara kembar. Hidupku tak pernah selengkap ini.
Rasanya bisa tinggal satu atap dengan mama, papa dan kakakku adalah dambaan ku
selama ini. Tapi hal itu baru terwujud ketika aku beranjak memasuki bangku
kuliah. Yah, sebelumnya aku tinggal dengan nenekku di pulau terpencil, pulau
Madura. Tepatnya di kota Sumenep. Sejak aku disapih, mama dan papa ku sengaja
memisahkan kami. Entah kenapa mereka memisahkan aku, dan bukan kakakku. Selama 18
tahun aku tinggal bersama nenek di pulau garam itu. Bahkan aku merasa kasih
sayang nenek tidak pernah aku dapat dari kedua orang tua ku. Nenek ku seperti
orang tua ku sendiri. Nenek ini adalah ibu dari mama ku. Beliau dengan penuh
kasih merawat ku sejak aku berumur 2 tahun sampai kini memasuki 20 tahun. Orang
tua ku berkunjung ke pulau garam itu hanya beberapa kali saja. Kadang dalam
setahun hanya 3 kali kita bisa bertemu. Hari paling panjang bisa berkumpul
dengan mama, papa, Steva dan keluarga besar ku adalah hari raya idul fitri.
Biasanya mama, papa dan Steva menghabiskan hari raya di kota Sumenep. Dan dalam
kesempatan itulah aku bisa bertemu dengan Steva. Selain hari itu, Steva jarang
ikut mama dan papa ke kota Sumenep. Entahlah, walau dalam keadaan apapun aku
dan Steva bertemu, kami jarang ngobrol. Sampai-sampai aku sendiri merasa tidak
mengenal Steva. Aku merasa Steva ini orang lain. Sama juga halnya aku rasakan
kepada orang tua ku. aku merasa mereka orang lain bagiku. Orang tua yang
sebenarnya menurutku adalah nenekku. Aku sayang nenek. Sampai kapanpun itu.
Jujur saja aku merasa canggung dengan
saudara kandungku sendiri. Terkadang terlintas dibenakku perasaan malu untuk
berbicara dengannya.
Steva, dia sosok perempuan kecil yang cantik. Penampilannya nampak
seperti orang kaya, tidak sama dengan ku walau kami ini saudara kembar. Aku
kotor, ngga terlihat cantik, dan penampilan ku sangat sederhana. Mana mungkin
dia mau mengakui aku saudaranya? Aku yakin dia pasti malu. Maka dari itu aku
menjaga jarak dengannya.
Ketika beranjak memasuki kuliah, mama dan
papa mengunjungi aku di kota Sumenep. Tentunya tanpa Steva. Mereka membujukku
untuk tinggal bersama mereka di Surabaya. Yang jelas, aku akan meninggalkan
nenek sendiri di pulau garam ini. Dan jujur saja berat rasanya untuk meninggalkan nenek sendiri,
sedangkan aku sudah hampir 18 tahun bersamanya. Teringat masa kecilku dulu,
ketika hendak tidur nenek biasanya menceritakan dongeng pengantar tidur hingga
aku benar-benar lelap dan bermimpi. Nenek yang selalu menyuapi ku ketika aku
hendak buru-buru pergi ke sekolah. Bahkan sampai SMA pun nenek memperlakukan ku
seperti anak kecil yang masih harus disuapin. Ketika becak jemputan ku
menjemput di depan rumah, nenek mengantarkan aku dan meyakinkan bahwa aku
benar-benar sudah duduk di becak dan siap diantar ke sekolah. Dengan senyum
yang paling manis nenek melambaikan tangan untukku.
“Hati-hati cucu ku”
Dengan susah payah mama dan papa membujukku.
Usaha mereka sangat gigih juga rupanya. Dan aku tetap dengan keputusan ku. Aku akan
tetap tinggal disini bersama nenek.
“Dis, kalau kamu disini, nanti tambah
merepotkan nenek” kata mama.
“Dari dulu mama juga udah ngerepotin nenek.
Nenek selama ini yang ngerawat Gadis ma. Gadis ngga mau pisah sama nenek”, aku
memeluk nenek yang duduk disebelah ku.
“Kalau Gadis tidak mau, tidak usah dipaksa”
jawab nenek sambil mengusap rambutku.
“Tapi bu, Gadis harus melanjutkan
pendidikannya. Kalau dia disini, dia mau kuliah dimana?”
“Disini juga ada perguruan tinggi kog ma”
sambungku.
“Gadis, papa sudah siapkan tempat kuliah
untuk kamu. Papa ingin kamu bisa tinggal bersama kami di Surabaya. Papa ingin
kamu bisa membantu restaurant Sea Food papa di Surabaya. Kalau bukan anak-anak
papa yang mengurus lantas siapa?” kata papa mencoba meyakinkan.
“Cucu ku, apa yang dikatakan papa kamu ada
benarnya. Sekarang waktunya kamu tinggal bersama keluarga kamu nak. Coba
dipikirkan baik-baik. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan” kata nenek
sambil memelukku.
“Tapi nek?”
“Nenek disini akan baik-baik saja nak. Gadis
bisa kapan saja berkunjung ke sini. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk cucu
nenek yang manis ini”
Airmata ku hampir saja jatuh. Aku tidak
sanggup kalau harus berpisah dengan nenek. Aku belum siap. Tapi aku harus
memilih. Walaupun berat, aku yakin ini yang terbaik buat ku dan masa depan ku
nanti.
“Pa, Ma... Aku segera berkemas” jawabku.
ooo
Surabaya,
Kota yang sangat panas, kepulan asap pabrik
terlihat dari jarak yang cukup jauh. Udaranya tidak sebersih di kota Sumenep.
Pemandangan gedung-gedung tinggi saja yang bisa ku nikmati disepanjang
perjalanan. Perkampungan kumuh, kali yang penuh dengan enceng gondok, truk-truk
pengangkut barang saling salip-menyalip, semua tak ada yang lebih indah dari
kota ku, Sumenep. Aku rindu nenek. Sedang apakah nenek disana sekarang? Sudah
makan kah nenek? Atau sedang tidur siang? Rasanya belum sehari aku terpisah
dengan nenek, tapi rinduku sudah diubun-ubun. Nenek, Gadis sayang nenek.
Rumah ini sangat besar. Sebelumnya aku tidak
pernah berkunjung kesini. Dibandingkan tempat aku tinggal bersama nenek. Rumah
nenek sederhana, di sekeliling rumah nenek dihiasi bermacam-macam bunga dengan
aneka warna. Sejuk dan nyaman. Kalau rumah ini, lebih condong ke halaman yang
luas. Hanya ada kolam ikan di halaman depan dengan dihiasi sedikit bunga-bunga.
Megah banget pokoknya.
“Dis, kamu bawa barang-barang kamu ke lantai
atas. Kamar kamu sudah mama siapin. Satu kamar dengan Steva”
“Ma, Gadis ngga mau satu kamar dengan Steva”
“Lho kenapa Dis?”
“Gadis ngga terbiasa tidur dengan orang
lain”
“Tapi Steva itu bukan orang lain nak”
“Gadis ngga mau ma. Gadis udah biasa tidur
sendiri. Gadis udah gede”
“Ya sudah kalau itu mau kamu. Kamu tidur
dikamar atas sebelah kamar Steva ya”
“Ya ma”
Aku membawa barang-barang ku kemudian menuju
lantai atas. Tepat di depan kamar Steva, aku terhenti. Aku mengintip kamar
Steva yang sedang terbuka. Kamar Steva sangat besar dan luas. Kasurnya spring
bed beralaskan bed cover yang lucu dan selimut yang selalu membuatnya hangat. Diatasnya
berjajar boneka-boneka lucu yang menjadi teman tidurnya. Meja belajar yang
tertata rapi, lemari besar disampingnya yang sudah pasti berisi baju-baju
mahal. Aku seperti merasa berada dirumah orang lain. Rumah yang asing. Dan
jujur saja aku merasa tidak nyaman ditempat ini. Aku ingin pulang.
Inilah kamarku. Luasnya tidak seberapa
dibanding kamar Steva. Kasurnya berisikan kapuk. Hanya ada lemari baju yang
tidak terlalu besar dan meja belajar yang masih belum terjamah.
“Ini kamar tamu Dis, makanya sempit. Mama
kan sudah bilang kamu dikamar Steva aja”
“Ngga ma. Gadis dikamar ini saja”
“Ya sudah, apa boleh buat” mama pergi
meninggalkan aku sendiri yang sedang merapikan barang-barang.
“Dis...” panggil papa dari lantai bawah.
“Ya pa”
“Kemari. Papa punya hadiah untuk kamu”
Dan
jreeenggg...
Sebuah
mobil yaris berwarna hitam didepan mataku.
“Ini punya siapa pa?”
“Punya kamu sayang”
“Tapi pa, Gadis ngga bisa nyetir mobil”
“Nanti les dulu lah Dis”
Sejak
dirumah ini hidupku berubah. Pergi kemanapun aku selalu ditemani dengan yaris
hitam itu. Baju-baju ku sudah ngga jadul seperti dulu. Ikut trend masa kini.
Teman-teman ku bukan orang-orang biasa, mereka dari kalangan anak pejabat,
pengusaha, dan sebagainya. Untung saja papa tidak memasukkan aku di perguruan
tinggi yang sama dengan Steva. Karena kalau harus dengan Steva aku merasa
minder.
Sekarang aku tak kalah cantiknya dengan
Steva. Tiap sebulan sekali aku melakukan perawatan di salon. Aku lebih menjaga
kulit dan wajah ku. Sampai akhirnya aku mendapat tawaran menjadi model
photographi. Dan banyak perubahan dalam hidup aku.
Jujur saja selama ini aku selalu iri dengan
Steva. Steva yang selalu menjadi idola di sekolahnya dulu. Steva yang setiap
hari berangkat sekolah dengan Jazz nya. Sedangkan aku dulu naik becak. Bahkan
ini sudah ke tiga kalinya dia ganti mobil. Tapi sekarang, keadaan kita sama.
Hanya saja aku tetap merasa kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari
orang tua ku. Aku mengerti keadaan mereka. Aku tau mereka melakukan ini semua
hanya untuk aku dan Steva. Mama setiap hari harus berangkat pagi dan pulang
malam untuk menjaga boutique nya. Sedangkan papa harus mengurus restaurant sea
food terbesarnya di Surabaya. Aku sedikit merasa lebih beruntung, karena aku
masih dapat merasakan kasih sayang dari seorang nenek. Aku yakin Steva pasti
memiliki apa yang dia mau, tetapi tidak dengan kasih sayang.
“Dis, pinjam mobil kamu donk. Aku mau pergi
bareng temen nih”
Untuk pertama kalinya Steva membutuhkan aku.
Kemarin-kemarin dia hanya berbicara seadanya saja, yah sekedar basa-basi. Tapi
kali ini tidak.
“Ngga” jawab ku.
“Kamu pelit banget sih Dis. Bentar doank
kog”
“Ngga!!!”
“Ayolah Dis”
“Mobil kamu kemana?”
“Ada sih, cuma aku kan bosen pakai mobil itu
terus. Aku pengen bawa mobil kamu”
“Buat pamer sama temen-temen kamu?”
“Emmmh, dimana kuncinya?”
“Stev, kamu pernah ngga sadar sedikit aja.
Aku tuh benci kamu Stev. Aku benci !”
“Dis...”
“Ya, aku benci dengan semua tentang kamu.
Aku muak dengan kesombongan kamu. Aku benci kamu Stev, yang ngga pernah
menghargai hidup. Sedikit aja ! Kamu ngga pernah tau Stev, gimana rasanya hidup
belasan tahun tanpa kasih sayang seorang mama, papa dan saudara kandung ku
sendiri. Kamu ngga pernah tau rasanya hidup dirumah kecil, kamu ngga pernah tau
rasanya pergi ke sekolah dengan naik becak, kamu ngga pernah tau rasanya hidup
aku ! Tapi apa? Kamu ngga pernah bersyukur Stev. Kamu bisa hidup bahagia dengan
mama – papa. Kemanapun kamu pergi ada mobil pribadi, makan enak, tinggal
dirumah besar, jadi idola disekolah. Apa yang kamu ngga punya Stev? Apa?” air
mata ku kemudian jatuh, menahan sesak di dada yang akhirnya selama belasan
tahun ini ku pendam terungkap juga.
Steva kemudian ikut menangis.
“Kamu ngga pernah tau Dis. Gimana rasanya
jadi aku. Aku ngga seberuntung kamu. Tapi ngga pernah sedikit pun aku merasa
benci sama kamu. Kamu beruntung bisa tinggal bersama nenek yang sayang sama
kamu. Kamu ngga pernah tau Dis. Memang aku punya segalanya, apa yang aku mau
aku bisa dapatkan. Tapi satu yang ngga pernah aku dapat Dis, kasih sayang mama
– papa. Buat apa semua ini? Buat apa rumah besar? Buat apa mobil? Aku ngga
butuh. Aku cuma ingin mama – papa meluangkan sedikit waktu untukku. Tapi apa?
Mereka terlalu egois. Mereka tidak pernah memikirkan perasaan ku. Bahkan ulang
tahunku saja mereka tidak mengingatnya Dis. Dari dulu aku ingin mama – papa
membawa kamu kesini, tinggal bersama ku. Biar aku ngga kesepian. Aku slalu merindukan
mu Dis, walau aku tau kamu ngga akan pernah merindukan aku. Kamu boleh benci
dan iri kepada ku Dis. Tapi aku ngga akan pernah membenci mu. Karena kamu
saudara ku, harta termahal ku. Aku sayang kamu Dis, adikku...”
“Steva”, air mata ku semakin deras saja
mendengar keadaan Steva yang ternyata lebih pahit dari aku.
Maafkan aku Stev, maafkan aku yang hanya memikirkan keadaan ku saja
tanpa memikirkan keadaan mu. Aku sayang kamu.
Papa dan mama ternyata sudah lama berdiri
disitu, di depan pintu kamar ku. mereka mendengar pembicaraan kami berdua.
“Gadis, Steva maafkan papa dan mama ya”,
kata mama kemudian.
“Mama yang membuat hidup kalian merasa ngga
adil, maafkan mama ya. Mama ngga akan membiarkan waktu berlalu begitu saja
tanpa kasih sayang ini. Mama sayang kalian”
“Papa juga minta maaf Stev, kalau selama ini
terlalu egois. Maafkan papa Dis, yang membuat kalian terpisah. Tapi papa
bangga, dalam keadaan apapun kalian tetap terlihat anak papa yang kuat. Selama
belasan tahun kalian pendam semua itu, dan kini papa baru menyadarinya. Maafkan
papa nak” papa memelukku dan Steva.
Kebahagiaan bukan dari harta yang bisa
memuaskan kita. Tapi kebahagiaan itu berasal dari sebuah kasih sayang yang
takkan ternilai harganya. Hidup hanya memberi satu kesempatan untuk berbagi,
maka jangan memberi kesempatan untuk menyia-nyiakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar