Minggu, 14 April 2013

GADIS STEVANIE


GADIS STEVANIE
a story by : Acclivity Noveltine Libertyca



Gadis Steviana, Gadis ! Itu nama ku. Dan ini Gladish Stevanie, Steva. Itu kakak perempuan ku. Kami berdua adalah saudara kandung, lebih tepatnya saudara kembar. Hidupku tak pernah selengkap ini. Rasanya bisa tinggal satu atap dengan mama, papa dan kakakku adalah dambaan ku selama ini. Tapi hal itu baru terwujud ketika aku beranjak memasuki bangku kuliah. Yah, sebelumnya aku tinggal dengan nenekku di pulau terpencil, pulau Madura. Tepatnya di kota Sumenep. Sejak aku disapih, mama dan papa ku sengaja memisahkan kami. Entah kenapa mereka memisahkan aku, dan bukan kakakku. Selama 18 tahun aku tinggal bersama nenek di pulau garam itu. Bahkan aku merasa kasih sayang nenek tidak pernah aku dapat dari kedua orang tua ku. Nenek ku seperti orang tua ku sendiri. Nenek ini adalah ibu dari mama ku. Beliau dengan penuh kasih merawat ku sejak aku berumur 2 tahun sampai kini memasuki 20 tahun. Orang tua ku berkunjung ke pulau garam itu hanya beberapa kali saja. Kadang dalam setahun hanya 3 kali kita bisa bertemu. Hari paling panjang bisa berkumpul dengan mama, papa, Steva dan keluarga besar ku adalah hari raya idul fitri. Biasanya mama, papa dan Steva menghabiskan hari raya di kota Sumenep. Dan dalam kesempatan itulah aku bisa bertemu dengan Steva. Selain hari itu, Steva jarang ikut mama dan papa ke kota Sumenep. Entahlah, walau dalam keadaan apapun aku dan Steva bertemu, kami jarang ngobrol. Sampai-sampai aku sendiri merasa tidak mengenal Steva. Aku merasa Steva ini orang lain. Sama juga halnya aku rasakan kepada orang tua ku. aku merasa mereka orang lain bagiku. Orang tua yang sebenarnya menurutku adalah nenekku. Aku sayang nenek. Sampai kapanpun itu.
Jujur saja aku merasa canggung dengan saudara kandungku sendiri. Terkadang terlintas dibenakku perasaan malu untuk berbicara dengannya.
Steva, dia sosok perempuan kecil yang cantik. Penampilannya nampak seperti orang kaya, tidak sama dengan ku walau kami ini saudara kembar. Aku kotor, ngga terlihat cantik, dan penampilan ku sangat sederhana. Mana mungkin dia mau mengakui aku saudaranya? Aku yakin dia pasti malu. Maka dari itu aku menjaga jarak dengannya.
Ketika beranjak memasuki kuliah, mama dan papa mengunjungi aku di kota Sumenep. Tentunya tanpa Steva. Mereka membujukku untuk tinggal bersama mereka di Surabaya. Yang jelas, aku akan meninggalkan nenek sendiri di pulau garam ini. Dan jujur saja berat  rasanya untuk meninggalkan nenek sendiri, sedangkan aku sudah hampir 18 tahun bersamanya. Teringat masa kecilku dulu, ketika hendak tidur nenek biasanya menceritakan dongeng pengantar tidur hingga aku benar-benar lelap dan bermimpi. Nenek yang selalu menyuapi ku ketika aku hendak buru-buru pergi ke sekolah. Bahkan sampai SMA pun nenek memperlakukan ku seperti anak kecil yang masih harus disuapin. Ketika becak jemputan ku menjemput di depan rumah, nenek mengantarkan aku dan meyakinkan bahwa aku benar-benar sudah duduk di becak dan siap diantar ke sekolah. Dengan senyum yang paling manis nenek melambaikan tangan untukku.
“Hati-hati cucu ku”
Dengan susah payah mama dan papa membujukku. Usaha mereka sangat gigih juga rupanya. Dan aku tetap dengan keputusan ku. Aku akan tetap tinggal disini bersama nenek.
“Dis, kalau kamu disini, nanti tambah merepotkan nenek” kata mama.
“Dari dulu mama juga udah ngerepotin nenek. Nenek selama ini yang ngerawat Gadis ma. Gadis ngga mau pisah sama nenek”, aku memeluk nenek yang duduk disebelah ku.
“Kalau Gadis tidak mau, tidak usah dipaksa” jawab nenek sambil mengusap rambutku.
“Tapi bu, Gadis harus melanjutkan pendidikannya. Kalau dia disini, dia mau kuliah dimana?”
“Disini juga ada perguruan tinggi kog ma” sambungku.
“Gadis, papa sudah siapkan tempat kuliah untuk kamu. Papa ingin kamu bisa tinggal bersama kami di Surabaya. Papa ingin kamu bisa membantu restaurant Sea Food papa di Surabaya. Kalau bukan anak-anak papa yang mengurus lantas siapa?” kata papa mencoba meyakinkan.
“Cucu ku, apa yang dikatakan papa kamu ada benarnya. Sekarang waktunya kamu tinggal bersama keluarga kamu nak. Coba dipikirkan baik-baik. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan” kata nenek sambil memelukku.
“Tapi nek?”
“Nenek disini akan baik-baik saja nak. Gadis bisa kapan saja berkunjung ke sini. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk cucu nenek yang manis ini”
Airmata ku hampir saja jatuh. Aku tidak sanggup kalau harus berpisah dengan nenek. Aku belum siap. Tapi aku harus memilih. Walaupun berat, aku yakin ini yang terbaik buat ku dan masa depan ku nanti.
“Pa, Ma... Aku segera berkemas” jawabku.
ooo
Surabaya,
Kota yang sangat panas, kepulan asap pabrik terlihat dari jarak yang cukup jauh. Udaranya tidak sebersih di kota Sumenep. Pemandangan gedung-gedung tinggi saja yang bisa ku nikmati disepanjang perjalanan. Perkampungan kumuh, kali yang penuh dengan enceng gondok, truk-truk pengangkut barang saling salip-menyalip, semua tak ada yang lebih indah dari kota ku, Sumenep. Aku rindu nenek. Sedang apakah nenek disana sekarang? Sudah makan kah nenek? Atau sedang tidur siang? Rasanya belum sehari aku terpisah dengan nenek, tapi rinduku sudah diubun-ubun. Nenek, Gadis sayang nenek.
Rumah ini sangat besar. Sebelumnya aku tidak pernah berkunjung kesini. Dibandingkan tempat aku tinggal bersama nenek. Rumah nenek sederhana, di sekeliling rumah nenek dihiasi bermacam-macam bunga dengan aneka warna. Sejuk dan nyaman. Kalau rumah ini, lebih condong ke halaman yang luas. Hanya ada kolam ikan di halaman depan dengan dihiasi sedikit bunga-bunga. Megah banget pokoknya.
“Dis, kamu bawa barang-barang kamu ke lantai atas. Kamar kamu sudah mama siapin. Satu kamar dengan Steva”
“Ma, Gadis ngga mau satu kamar dengan Steva”
“Lho kenapa Dis?”
“Gadis ngga terbiasa tidur dengan orang lain”
“Tapi Steva itu bukan orang lain nak”
“Gadis ngga mau ma. Gadis udah biasa tidur sendiri. Gadis udah gede”
“Ya sudah kalau itu mau kamu. Kamu tidur dikamar atas sebelah kamar Steva ya”
“Ya ma”
Aku membawa barang-barang ku kemudian menuju lantai atas. Tepat di depan kamar Steva, aku terhenti. Aku mengintip kamar Steva yang sedang terbuka. Kamar Steva sangat besar dan luas. Kasurnya spring bed beralaskan bed cover yang lucu dan selimut yang selalu membuatnya hangat. Diatasnya berjajar boneka-boneka lucu yang menjadi teman tidurnya. Meja belajar yang tertata rapi, lemari besar disampingnya yang sudah pasti berisi baju-baju mahal. Aku seperti merasa berada dirumah orang lain. Rumah yang asing. Dan jujur saja aku merasa tidak nyaman ditempat ini. Aku ingin pulang.
Inilah kamarku. Luasnya tidak seberapa dibanding kamar Steva. Kasurnya berisikan kapuk. Hanya ada lemari baju yang tidak terlalu besar dan meja belajar yang masih belum terjamah.
“Ini kamar tamu Dis, makanya sempit. Mama kan sudah bilang kamu dikamar Steva aja”
“Ngga ma. Gadis dikamar ini saja”
“Ya sudah, apa boleh buat” mama pergi meninggalkan aku sendiri yang sedang merapikan barang-barang.
“Dis...” panggil papa dari lantai bawah.
“Ya pa”
“Kemari. Papa punya hadiah untuk kamu”
            Dan jreeenggg...
            Sebuah mobil yaris berwarna hitam didepan mataku.
“Ini punya siapa pa?”
“Punya kamu sayang”
“Tapi pa, Gadis ngga bisa nyetir mobil”
“Nanti les dulu lah Dis”
            Sejak dirumah ini hidupku berubah. Pergi kemanapun aku selalu ditemani dengan yaris hitam itu. Baju-baju ku sudah ngga jadul seperti dulu. Ikut trend masa kini. Teman-teman ku bukan orang-orang biasa, mereka dari kalangan anak pejabat, pengusaha, dan sebagainya. Untung saja papa tidak memasukkan aku di perguruan tinggi yang sama dengan Steva. Karena kalau harus dengan Steva aku merasa minder.
Sekarang aku tak kalah cantiknya dengan Steva. Tiap sebulan sekali aku melakukan perawatan di salon. Aku lebih menjaga kulit dan wajah ku. Sampai akhirnya aku mendapat tawaran menjadi model photographi. Dan banyak perubahan dalam hidup aku.
Jujur saja selama ini aku selalu iri dengan Steva. Steva yang selalu menjadi idola di sekolahnya dulu. Steva yang setiap hari berangkat sekolah dengan Jazz nya. Sedangkan aku dulu naik becak. Bahkan ini sudah ke tiga kalinya dia ganti mobil. Tapi sekarang, keadaan kita sama. Hanya saja aku tetap merasa kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua ku. Aku mengerti keadaan mereka. Aku tau mereka melakukan ini semua hanya untuk aku dan Steva. Mama setiap hari harus berangkat pagi dan pulang malam untuk menjaga boutique nya. Sedangkan papa harus mengurus restaurant sea food terbesarnya di Surabaya. Aku sedikit merasa lebih beruntung, karena aku masih dapat merasakan kasih sayang dari seorang nenek. Aku yakin Steva pasti memiliki apa yang dia mau, tetapi tidak dengan kasih sayang.
“Dis, pinjam mobil kamu donk. Aku mau pergi bareng temen nih”
Untuk pertama kalinya Steva membutuhkan aku. Kemarin-kemarin dia hanya berbicara seadanya saja, yah sekedar basa-basi. Tapi kali ini tidak.
“Ngga” jawab ku.
“Kamu pelit banget sih Dis. Bentar doank kog”
“Ngga!!!”
“Ayolah Dis”
“Mobil kamu kemana?”
“Ada sih, cuma aku kan bosen pakai mobil itu terus. Aku pengen bawa mobil kamu”
“Buat pamer sama temen-temen kamu?”
“Emmmh, dimana kuncinya?”
“Stev, kamu pernah ngga sadar sedikit aja. Aku tuh benci kamu Stev. Aku benci !”
“Dis...”
“Ya, aku benci dengan semua tentang kamu. Aku muak dengan kesombongan kamu. Aku benci kamu Stev, yang ngga pernah menghargai hidup. Sedikit aja ! Kamu ngga pernah tau Stev, gimana rasanya hidup belasan tahun tanpa kasih sayang seorang mama, papa dan saudara kandung ku sendiri. Kamu ngga pernah tau rasanya hidup dirumah kecil, kamu ngga pernah tau rasanya pergi ke sekolah dengan naik becak, kamu ngga pernah tau rasanya hidup aku ! Tapi apa? Kamu ngga pernah bersyukur Stev. Kamu bisa hidup bahagia dengan mama – papa. Kemanapun kamu pergi ada mobil pribadi, makan enak, tinggal dirumah besar, jadi idola disekolah. Apa yang kamu ngga punya Stev? Apa?” air mata ku kemudian jatuh, menahan sesak di dada yang akhirnya selama belasan tahun ini ku pendam terungkap juga.
Steva kemudian ikut menangis.
“Kamu ngga pernah tau Dis. Gimana rasanya jadi aku. Aku ngga seberuntung kamu. Tapi ngga pernah sedikit pun aku merasa benci sama kamu. Kamu beruntung bisa tinggal bersama nenek yang sayang sama kamu. Kamu ngga pernah tau Dis. Memang aku punya segalanya, apa yang aku mau aku bisa dapatkan. Tapi satu yang ngga pernah aku dapat Dis, kasih sayang mama – papa. Buat apa semua ini? Buat apa rumah besar? Buat apa mobil? Aku ngga butuh. Aku cuma ingin mama – papa meluangkan sedikit waktu untukku. Tapi apa? Mereka terlalu egois. Mereka tidak pernah memikirkan perasaan ku. Bahkan ulang tahunku saja mereka tidak mengingatnya Dis. Dari dulu aku ingin mama – papa membawa kamu kesini, tinggal bersama ku. Biar aku ngga kesepian. Aku slalu merindukan mu Dis, walau aku tau kamu ngga akan pernah merindukan aku. Kamu boleh benci dan iri kepada ku Dis. Tapi aku ngga akan pernah membenci mu. Karena kamu saudara ku, harta termahal ku. Aku sayang kamu Dis, adikku...”
“Steva”, air mata ku semakin deras saja mendengar keadaan Steva yang ternyata lebih pahit dari aku.
Maafkan aku Stev, maafkan aku yang hanya memikirkan keadaan ku saja tanpa memikirkan keadaan mu. Aku sayang kamu.
Papa dan mama ternyata sudah lama berdiri disitu, di depan pintu kamar ku. mereka mendengar pembicaraan kami berdua.
“Gadis, Steva maafkan papa dan mama ya”, kata mama kemudian.
“Mama yang membuat hidup kalian merasa ngga adil, maafkan mama ya. Mama ngga akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa kasih sayang ini. Mama sayang kalian”
“Papa juga minta maaf Stev, kalau selama ini terlalu egois. Maafkan papa Dis, yang membuat kalian terpisah. Tapi papa bangga, dalam keadaan apapun kalian tetap terlihat anak papa yang kuat. Selama belasan tahun kalian pendam semua itu, dan kini papa baru menyadarinya. Maafkan papa nak” papa memelukku dan Steva.
Kebahagiaan bukan dari harta yang bisa memuaskan kita. Tapi kebahagiaan itu berasal dari sebuah kasih sayang yang takkan ternilai harganya. Hidup hanya memberi satu kesempatan untuk berbagi, maka jangan memberi kesempatan untuk menyia-nyiakannya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar